Free INDONESIA Cursors at www.totallyfreecursors.com

Selasa, 11 Desember 2018

KEADAAN KEHIDUPAN DI KAMPUNG SAYA

oleh
Baren Barnabas
 
Kampung tempat saya beserta keluarga tinggal sekarang bernama Barukai. Kampung ini merupakan bagian dari wilayah Desa Cibodas, Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut. Sebelah barat kampung dibatasi oleh jalan raya dan sebelah timur oleh Sungai Cikuray. Adapun sebelah utara berbatasan langsung dengan Kampung Kubengan dan sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Sukamanah. Kedua kampung yang membatasi tersebut masih merupakan wilayah Desa Cibodas.

Penduduk Kampung Barukai didominasi oleh para pendatang yang berasal dari berbagai kecamatan di wilayah Garut maupun dari kabupaten lain yang ada di Jawa Barat. Bahkan, beberapa di antaranya ada yang berasal dari Jawa Tengah, Madura, dan Medan. Penduduk yang berasal dari kecamatan atau kabupaten lain di Jawa Barat bermata pencaharian sebagai pegawai perkebunan teh, karyawan KPGS atau Koperasi Peternak Garut Selatan, guru, dan pedagang di pasar Cikajang. Penduduk yang berasal dari Jawa Tengah adalah guru-guru SD yang mendapat tugas mengajar puluhan tahun yang lalu dari pemerintah, pedagang bubur ayam, dan pedagang mie bakso. Penduduk yang berasal dari Medan merupakan tentara Kostrad 303 yang bermarkas di daerah Cibuluh, wilayah Kecamatan Cisurupan yang berbatasan dengan Kecamatan Cikajang. Adapun penduduk yang berasal dari Madura merupakan pedagang sate ayam dan kambing yang kemudian berkolaborasi dengan istrinya dalam rangka melebarkan sayap pencarian nafkahnya dengan cara menambah dagangan berupa bubur kacang hijau dan ketan hitam. Biasanya, di kain spanduknya yang sekaligus berfungsi sebagai dinding pembatas orang-orang yang membeli serta mengonsumsi langsung di tempat, mereka mencetak tulisan dengan huruf kapital semuanya: “SEDIA BUBUR KACANG IJO DAN KETAN ITEM”.

Barukai dapat dikatakan sebagai kampung yang cukup strategis. Hal ini karena jaraknya ke sekolah-sekolah, perusahaan, ataupun perkantoran, seperti TK, SD, SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK, pesantren, perkebunan teh, KPGS, pasar, kantor desa, kantor kecamatan, kantor polisi, puskesmas, serta KUA tidak lebih dari satu kilometer. Belum lagi dengan sarana jalan kampung beraspal hotmix yang membelah wilayahnya dari barat ke timur, menghubungkan kampung dan desa hingga melintas ke Kecamatan Cigedug. Karena itu, setiap hari jalan ini lalu lintasnya selalu ramai dengan berbagai kendaraan, seperti sepeda motor, becak, delman, elf, dan truk. Kadang-kadang di jalan kampung ini terjadi kemacetan seperti di kota-kota besar di Indonesia, terutama jika musim panen sayuran tiba. Mungkin sulit dipercaya, tapi demikianlah faktanya.

Seperti mayoritas tanah di Kecamatan Cikajang, tanah Barukai sangat subur, terutama sangat cocok jika ditanami sayur-sayuran. Mayoritas penduduk pribumi di Barukai menekuni bidang pertanian ini. Kebun mereka ditanami oleh sayur-sayuran dengan teknik tumpang sari. Sayuran-sayuran yang mereka tanam dalam satu kebun rata-rata berjumlah tiga jenis. Sebagai contoh, di sebuah kebun terlihat tanaman tomat yang diberi patok-patok bambu untuk menunjang pertumbuhan tangkainya. Satu patok bambu untuk satu pohon tomat. Tangkai-tangkai tomat itu diikatkan dengan tali rafia ke patok. Hal ini untuk mengantisipasi agar jika pohon tomat itu berbuah, pohonnya tidak rebah mencium tanah. Kurang lebih 50 cm dari pohon tomat itu, ditanam pula pohon cabe rawit besar atau yang populer di masyarakat Cikajang dengan sebutan “cabe inul”. Selanjutnya, 50 cm dari tanaman cabe inul, ditanam juga sayuran kol. Ketiga jenis tanaman sayuran tersebut ditanam di atas gundukan tanah yang memanjang sepanjang kebun dengan ketinggian kurang lebih 30 cm serta lebar 50 cm. Di samping gundukan tersebut terdapat bagian yang rendah dan berfungsi sebagai pembatas antargundukan maupun parit penampung air hujan. Ukuran lebarnya kurang lebih 40 cm.

Meski tanah di Kecamatan Cikajang termasuk tanah yang subur, tidak semua tanaman cocok ditanam di sini. Salah satu contohnya adalah tanaman padi dan pohon kelapa. Kedua jenis tanaman ini sangat jarang bahkan tidak ditemukan di daerah Cikajang, tak terkecuali di Barukai. Beras dan buah kelapa yang ada di pasar Cikajang bukan hasil karya petani Cikajang, melainkan hasil karya para petani dari Pameungpeuk atau Bungbulang.   

Kehidupan masyarakat di Kampung Barukai cukup harmonis. Antara pribumi dan pendatang dapat berbaur dan menyatu. Satu sama lain bisa beradaptasi serta memiliki kesadaran yang sama untuk membangun kampung. Setiap kegiatan yang berhubungan dengan kepentingan umum, seperti membetulkan drainase di kanan kiri jalan kampung, membangun posyandu, pos ronda, jalan ke pemakaman, sarana olahraga, dan sarana ibadah dilakukan secara gotong royong. Penduduk yang tergolong mampu dalam segi finansial menyumbang uang atau makanan, sedangkan penduduk yang kurang mampu, menyumbang tenaga atau bertindak sebagai pekerja utama. Adapun kaum ibu berpartisipasi dalam pekerjaan ringan atau memasak makanan untuk dihidangkan kepada para pekerja yang bergotong-royong.

Kehidupan masyarakat di Kampung Barukai cukup aman. Di sini jarang sekali ada peristiwa pencurian atau tindak kejahatan lainnya. Hal ini karena setiap RT memiliki sebuah pos ronda yang dilengkapi oleh kentongan dan peralatan ronda lainnya. Kentongan dan pemukulnya yang terbuat dari kayu itu digantungkan pada tiang kayu penyangga pos ronda. Tingginya dapat dijangkau orang dewasa. Bila malam tiba, tepatnya setelah salat isya, para lelaki dewasa berkumpul di pos ronda. Di antara mereka ada yang membawa kentongan kecil yang terbuat dari bambu, tongkat, dan golok. Mereka datang sesuai dengan jadwal yang sudah dipampangkan di bagian belakang dinding pos ronda dan dapat dilihat dengan jelas oleh semua orang, kecuali tunanetra. Dalam jadwal yang berbentuk tabel itu, ada enam petugas ronda yang bertugas setiap malamnya. Dalam interval satu jam sekali, kentongan kayu yang tergantung di tiang pos ronda itu dipukul, bersahut-sahutan dengan bunyi kentongan dari pos ronda lainnya. Dalam interval tiga jam sekali, tiga orang petugas ronda melaksanakan patroli. Mereka menyusuri jalan, gang-gang, dan memeriksa setiap rumah yang ada di lingkungan RT-nya. Sementara itu, tiga orang petugas ronda lainnya berjaga-jaga di pos ronda sambil berdiang dekat api unggun yang mereka nyalakan di samping pos ronda. Kadang-kadang, ada ubi jalar atau ubi kayu yang ikut mereka bakar sebagai penghilang rasa lapar. Sewaktu-waktu, mereka juga memasak nasi liwet dan ikan bakar. 

Mayoritas masyarakat Barukai memiliki budaya agraris. Mereka menyewa tanah di lereng Gunung Cikuray dari Perhutani dengan tujuan untuk dijadikan lahan pertanian. Lahan ekstensifikasi itu lokasinya cukup bahkan sangat jauh dari kampung tempat tinggal kami. Lahan pertanian itu mereka manfaatkan untuk menanam sayur-sayuran. Aneka sayur yang biasa mereka tanam seperti: kol, burkol, buncis, ercis, jagung manis, sosin, pecay, roay, bawang kucay, bawang bombay, bawang daun, seledri, kemangi, bayam, kacang panjang, cabe, terung, leunca, wortel, kentang, tomat, dan lobak. Mereka memelihara tanaman sayuran itu dengan sungguh-sungguh. Kesungguhan mereka terlihat dari dibangunnya gubuk-gubuk di sekitar lahan pertanian sebagai tempat tinggal sementara untuk menunggui tanaman hingga masa panen tiba. Selama masa penungguan itu, mereka melakukan kegiatan seperti: memupuk, menyiangi gulma, menancapkan turus atau patok untuk menyangga batang tanaman, memberantas hama dengan pestisida, insektisida, dan fungisida, serta menyiram tanaman.

Seperti kata pepatah, “Ada gula, ada semut.” Hal itu pun berlaku di areal pertanian. Beberapa minggu sebelum panen tiba, para tengkulak berdatangan melakukan survey. Tanaman mana yang baik kualitasnya, di kebun siapa, dan milik siapa, akan mereka selidiki dengan jeli, teliti, tepat, dan cermat, persis detektif partikelir di film-film layar perak. Mereka juga mampu memperkirakan berapa kuintal atau ton hasil panen yang akan diperoleh dari sebidang lahan yang ditanami sayuran. Saat itulah mereka melancarkan aksinya dengan berbagai iming-iming dan retorika persuasif yang panjang-panjang hampir tanpa jeda khas para tengkulak hanya untuk sukses melakukan transaksi dengan sang petani pemilik kebun sayuran. Teknik uniknya, jika jual-beli telah disepakati, tengkulak itu hanya membayar uang muka sekitar 20 s.d. 30%. Sisanya, dibayar ketika sayuran dipanen semuanya. 

Akan tetapi, ada juga tengkulak yang hanya bermodal dengkul. Artinya, tengkulak ini betul-betul hanya memiliki uang muka. Bahkan, tidak sedikit yang membeli dengan lisan saja, tanpa uang, atau hanya bermodal integritas dirinya sebagai tengkulak profesional yang sudah terkenal. Biasanya, tengkulak seperti ini akan menawarkan lagi kepada pengepul atau pedagang sayuran di pasar. Uang yang diperoleh dari transaksi ini dia bayarkan kepada petani sayuran. Dengan teknik yang cukup sistematis ini, para tengkulak jarang merugi. Mereka selalu mendapat untung hingga melebihi keuntungan para petani dan pedagang sayuran itu sendiri. Jika Anda bertanya, “Kenapa, e, kenapa bisa begitu?” Maka jawabannya, “Karena, e, karena mereka membeli dengan harga semurah-murahnya dan menjual dengan harga setinggi-tingginya.”  

Masyarakat Barukai termasuk masyarakat yang agamis. Setidaknya, ada dua buah masjid yang biasa digunakan untuk salat Jumat di kampung ini. Setiap RT-nya pun memiliki musala yang biasa digunakan oleh warga untuk salat berjamaah dan pengajian rutin. Pengajian rutin itu dilaksanakan seminggu sekali pada malam hari setelah salat maghrib dan berakhir selepas isya. Adapun jadwal untuk pengajian rutin setiap RT sengaja dibuat berbeda-beda harinya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih kumandang suara dari speaker sehingga warga yang kebetulan tidak bisa hadir ke pengajian dapat juga menyimak ceramah dari rumah masing-masing. Selain itu, penjadwalan seperti ini memungkinkan warga untuk saling mengunjungi pengajian di musala RT yang berbeda di wilayah Kampung Barukai. Ustadz atau ustadzah lokal dari Pesantren Nurul Huda yang ada di Kampung Barukai, yang akan mengisi ceramah atau sebagai pemateri dalam pengajian, pun merasa leluasa memberikan tauziyahnya karena tidak khawatir bentrok jadwal dengan pengajian di musala lainnya.

Pengajian mingguan di tiap RT ini tergolong istimewa karena selalu disuguhi aneka makanan dan minuman. Warga yang tergolong mampu lagi dermawan membawa makanan dan minuman untuk disuguhkan kepada seluruh peserta pengajian. Makanan itu berupa gorengan, seperti gehu, bala-bala, cireng, pisang molen, dan/atau pisang goreng. Ada juga makanan yang dikukus atau direbus, seperti leupeut, lupis, dan bacang. Adapun minuman yang terhidang adalah teh manis, kopi, dan susu murni yang dipermanis dengan gula merah. Setiap selesai pengajian, ustadz atau ustadzah yang berceramah selalu mengucapkan terima kasih serta mendoakan dengan seluruh mustami khususon untuk warga yang telah menyumbangkan sebagian hartanya itu. Kesemuanya itu menciptakan motivasi berharga, baik bagi para mustami maupun warga yang menyumbang.

Kampung Barukai memiliki keadaan alam yang cukup asri. Di kanan kiri jalan aspalnya terdapat selokan kecil yang bagian bawah serta pinggir-pinggirnya ditembok. Di bagian tembok sebelah dalam selokan itu berdiri pagar-pagar rumah. Rumah-rumah berpagar yang berderet-deret di kanan kiri jalan itu di halamannya ditumbuhi tanaman bunga dan buah, seperti mawar, dahlia, melati, bougenvil, euforbia, beludru, mangga, delima, nangka, terung belanda, jeruk, belimbing, jambu air, dan jambu batu. Perpaduan kedua jenis tanaman itu menciptakan pemandangan bernuansa aneka warna yang memesona. 

Ukuran panjang jalan kampung beraspal yang membentang dan membelah Kampung Barukai dari barat ke timur itu kurang lebih 300 meter. Pada bentangan yang cukup panjang itu, hanya terdapat sebuah toko sembako di pinggir jalan. Di dalam gang-gang, ada sekitar tiga warung kecil. Tentu kurang jika dibandingkan dengan populasi penduduk Kampung Barukai yang berjumlah kurang lebih 200-an kepala keluarga. Barang-barang dagangan yang ada di toko dan warung tersebut juga tidak lengkap sehingga warga harus belanja kebutuhan lainnya di pasar.

Kampung Barukai juga memiliki lahan kosong yang cukup luas dan serbaguna di pinggir jalan kampung beraspal. Di lahan kosong milik sesepuh warga mantan sekretaris desa itu terdapat lapang voli dan pos ronda. Di tiap bagian pinggir lahan itu ditanami pohon pisang, pepaya, alpukat, jambu air, dan jambu batu. Anak-anak sangat senang menggunakan lapang ini untuk bermain, memainkan beragam permainan tradisional khas Jawa Barat, seperti ngadu kaleci, sonlah, sumput beling, gatrik, sapintrong, boy-boyan, dan ucing sumput. Pada hari-hari biasa, lapang ini digunakan warga untuk bermain voli tiap sore hari. Pada hari Minggu pagi, ibu-ibu menggunakan lapang ini untuk senam pagi dengan panduan seorang ibu warga Barukai yang kebetulan ahli dalam bidang persenaman masa kini. Orang-orang Barukai mengenalnya sebagai instruktur senam aerobik. Saat acara senam dimulai, musik pengiring senam dihantarkan melalui sound system yang disimpan di pos ronda. Ibu instruktur itu pun berdiri paling depan seperti imam salat berjamaah, namun pakaiannya seperti instruktur senam massal yang suka ditayangkan di televisi lengkap dengan keseksiannya, tapi lebih santun. Ibu-ibu yang lain sebagai “jamaahnya” berbaris seperti pasukan perang sukarelawan. Seragam senamnya warna-warni, tidak ada yang seragam. Mereka bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan, ke depan dan ke belakang, serong kiri dan serong kanan, miring ke kiri dan miring ke kanan, jalan di tempat, berjongkok, berputar, menengadah, menggeleng, mengangguk, menunduk, menanduk, menendang, merentang, membungkuk, melompat, meliuk-liuk, dll. mengikuti komando gerakan sang instruktur seiring lantunan musik dangdut kekinian yang sudah dimodifikasi hasil kreativitas disc jockey. Lapang voli itu pun berubah seperti panggung pembukaan Asean Games yang di dalamnya ada benturan puluhan pelangi sebagai dampak pembiasan warna. Bukan dari bola lampu spotlight, melainkan dari warna seragam senam yang tidak seragam itu. Oh, sungguh olahraga dan hiburan murah yang sangat seru.

Berdasarkan gambaran tentang keadaan kehidupan di kampung saya tersebut, ada beberapa peluang wirausaha yang mungkin dapat dirancang dan diujicobakan. Jika ditelaah, semuanya mengerucut pada bisnis perdagangan atau jual beli. Pertama, menyediakan serta menjual benih atau bibit sayuran lengkap dengan pupuk, pestisida, insektisida, fungisida, dan turus bambunya. Kedua, menjadi tengkulak syariah untuk membeli hasil panen sayuran para petani. Ketiga,  membuat dan menjual makanan dan minuman untuk disuguhkan dalam pengajian mingguan. Keempat, mendesain, membuat, serta menjual seragam senam dan voli. Kelima, membangun toko dan menjual sembako serta kebutuhan lainnya yang lengkap dengan harga kompetitif.

Di antara kelima rancangan wirausaha itu, yang paling mungkin saya lakukan adalah yang terakhir, yakni membangun toko dan menjual sembako serta kebutuhan lainnya yang lengkap dengan harga kompetitif dengan pertimbangan sebagai berikut.

  1. Jumlah warung atau toko yang ada di Kampung Barukai masih minim.
  2. Lokasi rumah saya cukup strategis karena ada pinggir jalan, tepatnya di tengah-tengah bentangan jalan kampung beraspal yang membelah Kampung Barukai sehingga memungkinkan untuk dijangkau oleh warga yang tinggal di barat, timur, utara, dan selatan. 
  3. Halaman depan dan samping rumah saya relatif luas sehingga memungkinkan untuk membangun toko dan gudangnya yang menyatu dengan ukuran  5 x 4 m dan 2 x 11 m. 
  4. Sasaran konsumen toko tidak hanya ditujukan pada warga Barukai, tetapi juga warga kampung atau desa lain yang setiap hari menggunakan akses jalan aspal Kampung Barukai, termasuk di dalamnya para pedagang makanan dengan gerobak dorong, seperti baso tahu, batagor, tabso, cakue, cilok, cigor, dan seblak. 
  5. Sistem pembayaran untuk pembeli umum direncanakan kontan, sedangkan untuk pedagang (yang tersebut pada poin 4) kredit dengan harga sama dengan kontan. 
  6. Untuk menarik pembeli, harga-harga barang yang dijual diupayakan ssama dengan di pasar atau tidak jauh selisihnya. Selain itu, saya merancang pemberian hadiah berupa kue kaleng, biskuit, pakaian, sembako, dan/atau pakaian/sandang menjelang Iedul Fitri kepada mereka yang menjadi pelanggan setia toko.

Demikian deskripsi mengenai keadaan kehidupan di kampung saya serta rancangan wirausaha yang paling mungkin dapat saya lakukan berdasarkan beberapa peluang yang tergambar di atas.



                                                         Gambar: Dokumen Pribadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

This blog contains things related to education and learning. More specifically, it is closely related to Indonesian Language and Literature. You can also participate in appreciating this blog, at least by reading it, taking lessons in it, or making comments. Hopefully it will be useful for enriching insight, loving Indonesian language and literature, and advancing education in Indonesia.

Biasakan berkomentar setelah membuka atau membaca materi di blog ini. Terima kasih.

Antologi Puisi

Ironing the United States (2)

Sumber gambar: https://www.kaskus.co.id/thread/594c4961529a45e3218b4567/wanita-patung-liberty-ternyata-muslimah/ Baren ...