oleh
Baren Barnabas
Kampung
tempat saya beserta keluarga tinggal sekarang bernama Barukai. Kampung ini
merupakan bagian dari wilayah Desa Cibodas, Kecamatan Cikajang, Kabupaten
Garut. Sebelah barat kampung dibatasi oleh jalan raya dan sebelah timur oleh
Sungai Cikuray. Adapun sebelah utara berbatasan langsung dengan Kampung
Kubengan dan sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Sukamanah. Kedua kampung
yang membatasi tersebut masih merupakan wilayah Desa Cibodas.
Penduduk
Kampung Barukai didominasi oleh para pendatang yang berasal dari berbagai
kecamatan di wilayah Garut maupun dari kabupaten lain yang ada di Jawa Barat.
Bahkan, beberapa di antaranya ada yang berasal dari Jawa Tengah, Madura, dan
Medan. Penduduk yang berasal dari kecamatan atau kabupaten lain di Jawa Barat
bermata pencaharian sebagai pegawai perkebunan teh, karyawan KPGS atau Koperasi
Peternak Garut Selatan, guru, dan pedagang di pasar Cikajang. Penduduk yang
berasal dari Jawa Tengah adalah guru-guru SD yang mendapat tugas mengajar
puluhan tahun yang lalu dari pemerintah, pedagang bubur ayam, dan pedagang mie
bakso. Penduduk yang berasal dari Medan merupakan tentara Kostrad 303 yang
bermarkas di daerah Cibuluh, wilayah Kecamatan Cisurupan yang berbatasan dengan
Kecamatan Cikajang. Adapun penduduk yang berasal dari Madura merupakan pedagang
sate ayam dan kambing yang kemudian berkolaborasi dengan istrinya dalam rangka melebarkan
sayap pencarian nafkahnya dengan cara menambah dagangan berupa bubur kacang
hijau dan ketan hitam. Biasanya, di kain spanduknya yang sekaligus berfungsi
sebagai dinding pembatas orang-orang yang membeli serta mengonsumsi langsung di
tempat, mereka mencetak tulisan dengan huruf kapital semuanya: “SEDIA BUBUR
KACANG IJO DAN KETAN ITEM”.
Barukai
dapat dikatakan sebagai kampung yang cukup strategis. Hal ini karena jaraknya
ke sekolah-sekolah, perusahaan, ataupun perkantoran, seperti TK, SD, SMP, MTs,
SMA, MA, dan SMK, pesantren, perkebunan teh, KPGS, pasar, kantor desa, kantor
kecamatan, kantor polisi, puskesmas, serta KUA tidak lebih dari satu kilometer.
Belum lagi dengan sarana jalan kampung beraspal hotmix yang membelah wilayahnya dari barat ke timur, menghubungkan
kampung dan desa hingga melintas ke Kecamatan Cigedug. Karena itu, setiap hari
jalan ini lalu lintasnya selalu ramai dengan berbagai kendaraan, seperti sepeda
motor, becak, delman, elf, dan truk. Kadang-kadang di jalan kampung ini terjadi
kemacetan seperti di kota-kota besar di Indonesia, terutama jika musim panen
sayuran tiba. Mungkin sulit dipercaya, tapi demikianlah faktanya.
Seperti
mayoritas tanah di Kecamatan Cikajang, tanah Barukai sangat subur, terutama sangat
cocok jika ditanami sayur-sayuran. Mayoritas penduduk pribumi di Barukai
menekuni bidang pertanian ini. Kebun mereka ditanami oleh sayur-sayuran dengan
teknik tumpang sari. Sayuran-sayuran yang mereka tanam dalam satu kebun rata-rata
berjumlah tiga jenis. Sebagai contoh, di sebuah kebun terlihat tanaman tomat
yang diberi patok-patok bambu untuk menunjang pertumbuhan tangkainya. Satu
patok bambu untuk satu pohon tomat. Tangkai-tangkai tomat itu diikatkan dengan
tali rafia ke patok. Hal ini untuk mengantisipasi agar jika pohon tomat itu
berbuah, pohonnya tidak rebah mencium tanah. Kurang lebih 50 cm dari pohon
tomat itu, ditanam pula pohon cabe rawit besar atau yang populer di masyarakat Cikajang
dengan sebutan “cabe inul”. Selanjutnya, 50 cm dari tanaman cabe inul, ditanam
juga sayuran kol. Ketiga jenis tanaman sayuran tersebut ditanam di atas
gundukan tanah yang memanjang sepanjang kebun dengan ketinggian kurang lebih 30
cm serta lebar 50 cm. Di samping gundukan tersebut terdapat bagian yang rendah
dan berfungsi sebagai pembatas antargundukan maupun parit penampung air hujan.
Ukuran lebarnya kurang lebih 40 cm.
Meski
tanah di Kecamatan Cikajang termasuk tanah yang subur, tidak semua tanaman
cocok ditanam di sini. Salah satu contohnya adalah tanaman padi dan pohon
kelapa. Kedua jenis tanaman ini sangat jarang bahkan tidak ditemukan di daerah
Cikajang, tak terkecuali di Barukai. Beras dan buah kelapa yang ada di pasar
Cikajang bukan hasil karya petani Cikajang, melainkan hasil karya para petani
dari Pameungpeuk atau Bungbulang.
Kehidupan
masyarakat di Kampung Barukai cukup harmonis. Antara pribumi dan pendatang
dapat berbaur dan menyatu. Satu sama lain bisa beradaptasi serta memiliki
kesadaran yang sama untuk membangun kampung. Setiap kegiatan yang berhubungan
dengan kepentingan umum, seperti membetulkan drainase di kanan kiri jalan
kampung, membangun posyandu, pos ronda, jalan ke pemakaman, sarana olahraga,
dan sarana ibadah dilakukan secara gotong royong. Penduduk yang tergolong mampu
dalam segi finansial menyumbang uang atau makanan, sedangkan penduduk yang
kurang mampu, menyumbang tenaga atau bertindak sebagai pekerja utama. Adapun
kaum ibu berpartisipasi dalam pekerjaan ringan atau memasak makanan untuk
dihidangkan kepada para pekerja yang bergotong-royong.
Kehidupan
masyarakat di Kampung Barukai cukup aman. Di sini jarang sekali ada peristiwa
pencurian atau tindak kejahatan lainnya. Hal ini karena setiap RT memiliki
sebuah pos ronda yang dilengkapi oleh kentongan dan peralatan ronda lainnya. Kentongan
dan pemukulnya yang terbuat dari kayu itu digantungkan pada tiang kayu
penyangga pos ronda. Tingginya dapat dijangkau orang dewasa. Bila malam tiba,
tepatnya setelah salat isya, para lelaki dewasa berkumpul di pos ronda. Di
antara mereka ada yang membawa kentongan kecil yang terbuat dari bambu,
tongkat, dan golok. Mereka datang sesuai dengan jadwal yang sudah dipampangkan
di bagian belakang dinding pos ronda dan dapat dilihat dengan jelas oleh semua
orang, kecuali tunanetra. Dalam jadwal yang berbentuk tabel itu, ada enam
petugas ronda yang bertugas setiap malamnya. Dalam interval satu jam sekali,
kentongan kayu yang tergantung di tiang pos ronda itu dipukul, bersahut-sahutan
dengan bunyi kentongan dari pos ronda lainnya. Dalam interval tiga jam sekali,
tiga orang petugas ronda melaksanakan patroli. Mereka menyusuri jalan,
gang-gang, dan memeriksa setiap rumah yang ada di lingkungan RT-nya. Sementara
itu, tiga orang petugas ronda lainnya berjaga-jaga di pos ronda sambil berdiang
dekat api unggun yang mereka nyalakan di samping pos ronda. Kadang-kadang, ada
ubi jalar atau ubi kayu yang ikut mereka bakar sebagai penghilang rasa lapar.
Sewaktu-waktu, mereka juga memasak nasi liwet dan ikan bakar.
Mayoritas
masyarakat Barukai memiliki budaya agraris. Mereka menyewa tanah di lereng
Gunung Cikuray dari Perhutani dengan tujuan untuk dijadikan lahan pertanian. Lahan
ekstensifikasi itu lokasinya cukup bahkan sangat jauh dari kampung tempat
tinggal kami. Lahan pertanian itu mereka manfaatkan untuk menanam
sayur-sayuran. Aneka sayur yang biasa mereka tanam seperti: kol, burkol,
buncis, ercis, jagung manis, sosin, pecay, roay, bawang kucay, bawang bombay, bawang
daun, seledri, kemangi, bayam, kacang panjang, cabe, terung, leunca, wortel,
kentang, tomat, dan lobak. Mereka memelihara tanaman sayuran itu dengan
sungguh-sungguh. Kesungguhan mereka terlihat dari dibangunnya gubuk-gubuk di
sekitar lahan pertanian sebagai tempat tinggal sementara untuk menunggui tanaman
hingga masa panen tiba. Selama masa penungguan itu, mereka melakukan kegiatan
seperti: memupuk, menyiangi gulma, menancapkan turus atau patok untuk menyangga
batang tanaman, memberantas hama dengan pestisida, insektisida, dan fungisida,
serta menyiram tanaman.
Seperti
kata pepatah, “Ada gula, ada semut.” Hal itu pun berlaku di areal pertanian.
Beberapa minggu sebelum panen tiba, para tengkulak berdatangan melakukan
survey. Tanaman mana yang baik kualitasnya, di kebun siapa, dan milik siapa,
akan mereka selidiki dengan jeli, teliti, tepat, dan cermat, persis detektif
partikelir di film-film layar perak. Mereka juga mampu memperkirakan berapa
kuintal atau ton hasil panen yang akan diperoleh dari sebidang lahan yang
ditanami sayuran. Saat itulah mereka melancarkan aksinya dengan berbagai
iming-iming dan retorika persuasif yang panjang-panjang hampir tanpa jeda khas para
tengkulak hanya untuk sukses melakukan transaksi dengan sang petani pemilik
kebun sayuran. Teknik uniknya, jika jual-beli telah disepakati, tengkulak itu
hanya membayar uang muka sekitar 20 s.d. 30%. Sisanya, dibayar ketika sayuran
dipanen semuanya.
Akan
tetapi, ada juga tengkulak yang hanya bermodal dengkul. Artinya, tengkulak ini
betul-betul hanya memiliki uang muka. Bahkan, tidak sedikit yang membeli dengan
lisan saja, tanpa uang, atau hanya bermodal integritas dirinya sebagai
tengkulak profesional yang sudah terkenal. Biasanya, tengkulak seperti ini akan
menawarkan lagi kepada pengepul atau pedagang sayuran di pasar. Uang yang
diperoleh dari transaksi ini dia bayarkan kepada petani sayuran. Dengan teknik
yang cukup sistematis ini, para tengkulak jarang merugi. Mereka selalu mendapat
untung hingga melebihi keuntungan para petani dan pedagang sayuran itu sendiri.
Jika Anda bertanya, “Kenapa, e, kenapa bisa begitu?” Maka jawabannya, “Karena,
e, karena mereka membeli dengan harga semurah-murahnya dan menjual dengan harga
setinggi-tingginya.”
Masyarakat
Barukai termasuk masyarakat yang agamis. Setidaknya, ada dua buah masjid yang
biasa digunakan untuk salat Jumat di kampung ini. Setiap RT-nya pun memiliki
musala yang biasa digunakan oleh warga untuk salat berjamaah dan pengajian
rutin. Pengajian rutin itu dilaksanakan seminggu sekali pada malam hari setelah
salat maghrib dan berakhir selepas isya. Adapun jadwal untuk pengajian rutin setiap
RT sengaja dibuat berbeda-beda harinya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi
tumpang tindih kumandang suara dari speaker
sehingga warga yang kebetulan tidak bisa hadir ke pengajian dapat juga menyimak
ceramah dari rumah masing-masing. Selain itu, penjadwalan seperti ini
memungkinkan warga untuk saling mengunjungi pengajian di musala RT yang berbeda
di wilayah Kampung Barukai. Ustadz atau ustadzah lokal dari Pesantren Nurul
Huda yang ada di Kampung Barukai, yang akan mengisi ceramah atau sebagai
pemateri dalam pengajian, pun merasa leluasa memberikan tauziyahnya karena tidak
khawatir bentrok jadwal dengan pengajian di musala lainnya.
Pengajian
mingguan di tiap RT ini tergolong istimewa karena selalu disuguhi aneka makanan
dan minuman. Warga yang tergolong mampu lagi dermawan membawa makanan dan
minuman untuk disuguhkan kepada seluruh peserta pengajian. Makanan itu berupa
gorengan, seperti gehu, bala-bala, cireng, pisang molen, dan/atau pisang
goreng. Ada juga makanan yang dikukus atau direbus, seperti leupeut, lupis, dan
bacang. Adapun minuman yang terhidang adalah teh manis, kopi, dan susu murni
yang dipermanis dengan gula merah. Setiap selesai pengajian, ustadz atau ustadzah
yang berceramah selalu mengucapkan terima kasih serta mendoakan dengan seluruh
mustami khususon untuk warga yang telah menyumbangkan sebagian hartanya itu. Kesemuanya
itu menciptakan motivasi berharga, baik bagi para mustami maupun warga yang
menyumbang.
Kampung
Barukai memiliki keadaan alam yang cukup asri. Di kanan kiri jalan aspalnya
terdapat selokan kecil yang bagian bawah serta pinggir-pinggirnya ditembok. Di
bagian tembok sebelah dalam selokan itu berdiri pagar-pagar rumah. Rumah-rumah
berpagar yang berderet-deret di kanan kiri jalan itu di halamannya ditumbuhi
tanaman bunga dan buah, seperti mawar, dahlia, melati, bougenvil, euforbia,
beludru, mangga, delima, nangka, terung belanda, jeruk, belimbing, jambu air,
dan jambu batu. Perpaduan kedua jenis tanaman itu menciptakan pemandangan bernuansa
aneka warna yang memesona.
Ukuran
panjang jalan kampung beraspal yang membentang dan membelah Kampung Barukai
dari barat ke timur itu kurang lebih 300 meter. Pada bentangan yang cukup
panjang itu, hanya terdapat sebuah toko sembako di pinggir jalan. Di dalam
gang-gang, ada sekitar tiga warung kecil. Tentu kurang jika dibandingkan dengan
populasi penduduk Kampung Barukai yang berjumlah kurang lebih 200-an kepala
keluarga. Barang-barang dagangan yang ada di toko dan warung tersebut juga
tidak lengkap sehingga warga harus belanja kebutuhan lainnya di pasar.
Kampung
Barukai juga memiliki lahan kosong yang cukup luas dan serbaguna di pinggir
jalan kampung beraspal. Di lahan kosong milik sesepuh warga mantan sekretaris
desa itu terdapat lapang voli dan pos ronda. Di tiap bagian pinggir lahan itu
ditanami pohon pisang, pepaya, alpukat, jambu air, dan jambu batu. Anak-anak
sangat senang menggunakan lapang ini untuk bermain, memainkan beragam permainan
tradisional khas Jawa Barat, seperti ngadu
kaleci, sonlah, sumput beling, gatrik, sapintrong, boy-boyan, dan ucing sumput. Pada hari-hari biasa,
lapang ini digunakan warga untuk bermain voli tiap sore hari. Pada hari Minggu
pagi, ibu-ibu menggunakan lapang ini untuk senam pagi dengan panduan seorang
ibu warga Barukai yang kebetulan ahli dalam bidang persenaman masa kini. Orang-orang
Barukai mengenalnya sebagai instruktur senam aerobik. Saat acara senam dimulai,
musik pengiring senam dihantarkan melalui sound
system yang disimpan di pos ronda. Ibu instruktur itu pun berdiri paling
depan seperti imam salat berjamaah, namun pakaiannya seperti instruktur senam
massal yang suka ditayangkan di televisi lengkap dengan keseksiannya, tapi
lebih santun. Ibu-ibu yang lain sebagai “jamaahnya” berbaris seperti pasukan
perang sukarelawan. Seragam senamnya warna-warni, tidak ada yang seragam.
Mereka bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan, ke depan dan ke belakang, serong
kiri dan serong kanan, miring ke kiri dan miring ke kanan, jalan di tempat, berjongkok,
berputar, menengadah, menggeleng, mengangguk, menunduk, menanduk, menendang,
merentang, membungkuk, melompat, meliuk-liuk, dll. mengikuti komando gerakan
sang instruktur seiring lantunan musik dangdut kekinian yang sudah dimodifikasi
hasil kreativitas disc jockey. Lapang
voli itu pun berubah seperti panggung pembukaan Asean Games yang di dalamnya ada benturan puluhan pelangi sebagai
dampak pembiasan warna. Bukan dari bola lampu spotlight, melainkan dari warna seragam senam yang tidak seragam
itu. Oh, sungguh olahraga dan hiburan murah yang sangat seru.
Berdasarkan
gambaran tentang keadaan kehidupan di kampung saya tersebut, ada beberapa
peluang wirausaha yang mungkin dapat dirancang dan diujicobakan. Jika ditelaah,
semuanya mengerucut pada bisnis perdagangan atau jual beli. Pertama, menyediakan
serta menjual benih atau bibit sayuran lengkap dengan pupuk, pestisida,
insektisida, fungisida, dan turus bambunya. Kedua, menjadi tengkulak syariah
untuk membeli hasil panen sayuran para petani. Ketiga, membuat dan menjual makanan dan minuman untuk
disuguhkan dalam pengajian mingguan. Keempat, mendesain, membuat, serta menjual
seragam senam dan voli. Kelima, membangun toko dan menjual sembako serta
kebutuhan lainnya yang lengkap dengan harga kompetitif.
Di
antara kelima rancangan wirausaha itu, yang paling mungkin saya lakukan adalah
yang terakhir, yakni membangun toko dan menjual sembako serta kebutuhan lainnya
yang lengkap dengan harga kompetitif dengan pertimbangan sebagai berikut.
- Jumlah warung atau toko yang ada di Kampung Barukai masih minim.
- Lokasi rumah saya cukup strategis karena ada pinggir jalan, tepatnya di tengah-tengah bentangan jalan kampung beraspal yang membelah Kampung Barukai sehingga memungkinkan untuk dijangkau oleh warga yang tinggal di barat, timur, utara, dan selatan.
- Halaman depan dan samping rumah saya relatif luas sehingga memungkinkan untuk membangun toko dan gudangnya yang menyatu dengan ukuran 5 x 4 m dan 2 x 11 m.
- Sasaran konsumen toko tidak hanya ditujukan pada warga Barukai, tetapi juga warga kampung atau desa lain yang setiap hari menggunakan akses jalan aspal Kampung Barukai, termasuk di dalamnya para pedagang makanan dengan gerobak dorong, seperti baso tahu, batagor, tabso, cakue, cilok, cigor, dan seblak.
- Sistem pembayaran untuk pembeli umum direncanakan kontan, sedangkan untuk pedagang (yang tersebut pada poin 4) kredit dengan harga sama dengan kontan.
- Untuk menarik pembeli, harga-harga barang yang dijual diupayakan ssama dengan di pasar atau tidak jauh selisihnya. Selain itu, saya merancang pemberian hadiah berupa kue kaleng, biskuit, pakaian, sembako, dan/atau pakaian/sandang menjelang Iedul Fitri kepada mereka yang menjadi pelanggan setia toko.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
This blog contains things related to education and learning. More specifically, it is closely related to Indonesian Language and Literature. You can also participate in appreciating this blog, at least by reading it, taking lessons in it, or making comments. Hopefully it will be useful for enriching insight, loving Indonesian language and literature, and advancing education in Indonesia.
Biasakan berkomentar setelah membuka atau membaca materi di blog ini. Terima kasih.