Free INDONESIA Cursors at www.totallyfreecursors.com

Rabu, 26 Desember 2018

ANTOLOGI PUISI ESAI “ATAS NAMA CINTA” DALAM KRITIK SOSIAL BUDAYA: SEBUAH GUGATAN ISU DISKRIMINASI ANAK MANUSIA




ANTOLOGI PUISI ESAI “ATAS NAMA CINTA”
DALAM KRITIK SOSIAL BUDAYA: SEBUAH GUGATAN ISU DISKRIMINASI ANAK MANUSIA





Makalah
disusun guna memenuhi salah satu tugas dalam perkuliahan Sastra Indonesia yang diampu Dr. Sumiyadi, M.Hum.




oleh
BAREN BARNABAS
NIM 1201533




Sekolah Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia
Universitas Pendidikan Indonesia
Bandung
2013



BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Sepanjang zaman, puisi mengalami perubahan, perkembangan. Hal ini mengingat hakikatnya sebagai karya seni yang selalu terjadi ketegangan antara konvensi dan pembaharuan (inovasi), demikian pendapat Teeuw (1980:12). Pendapat ini selaras dengan pemikiran Riffaterre (1978:1) bahwa puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi selera dan perubahan konsep estetiknya.
Pada tahun 2012, khazanah sastra Indonesia diramaikan oleh lahirnya genre baru puisi yang digagas oleh Denny J.A. Buku antologi yang diterbitkannya berjudul “Atas Nama Cinta”. Di dalamnya terdapat lima buah puisi yang relatif panjang sebagai karya (baca: eksperimen) Denny J.A. Dalam antologinya itu, Denny mencoba mengungkit permasalahan diskriminasi yang terjadi di Indonesia berdasarkan kacamatanya. Kelima buah puisi itu masing-masing berjudul Sapu Tangan Fang Yin”, “Romi dan Yuli dari Cikeusik”, “Minah Tetap Dipancung”, “Cinta Terlarang Batman dan Robin”, serta “Bunga Kering Perpisahan”.
Sesuatu yang baru tentu patut dikenal serta diketahui, ditelaah serta ditimbang baik buruknya dari berbagai sudut pandang dengan pisau analisis yang tajam. Dengan cara itulah akan didapat suatu kesimpulan yang pasti, apakah sesuatu itu layak diterima atau ditolak. Atas dasar pemikiran tersebut, penulis tertarik untuk menyusun makalah dengan judul ”Antologi Puisi Esai ‘Atas Nama Cinta’ Denny J.A. dalam Kritik Sosial Budaya: Sebuah Gugatan Isu Diskriminasi Anak Manusia”.
B.     Rumusan Masalah
Masalah penelitian dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1.      Apakah yang dimaksud dengan puisi esai?
2.      Siapakah Denny J.A. itu?
3.      Bagaimanakah contoh puisi esai karya Denny J.A.?
4.      Bagaimanakah pengkajian Antologi Puisi Esai “Atas Nama Cinta” Denny J.A. dengan Metode Kritik Sosial Budaya?

C.      Batasan Masalah
Masalah penelitian ini sangat luas cakupannya. Oleh sebab itu, perlu diadakan pembatasan masalah. Hal ini dimaksudkan agar penelitian ini menjadi lebih khusus, jelas, dan terarah.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, penulis membatasi masalah penelitian ini sebagai berikut.
1.    Definisi puisi esai.
2.    Biografi Denny J.A.
3.    Contoh puisi esai karya Denny J.A.
4.    Hasil kajian Antologi Puisi Esai ”Atas Nama Cinta” dengan metode kritik sosial budaya.

D.    Tujuan Penelitian
Suatu kegiatan yang positif tentu memiliki tujuan yang jelas. Adapun tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengenalkan puisi esai. Secara lebih khusus, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.      Menjelaskan tentang puisi esai.
2.      Menceritakan secara singkat biografi Denny J.A.
3.      Memperlihatkan salah satu contoh puisi esai karya Denny J.A.
4.      Memaparkan pengkajian Antologi Puisi Esai ”Atas Nama Cinta” Denny J.A. dengan metode kritik sosial budaya.

E.       Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Manfaat tersebut, antara lain sebagai berikut.
1.      Mengenal genre baru sastra Indonesia, yakni puisi esai;
2.      Mengetahui penggagas puisi esai serta hal-hal yang melatarbelakangi diciptakannya puisi esai;
3.      Mengetahui contoh konkret puisi esai;
4.      Memahami metode kritik sosial budaya ala Sheldon Norman Grebstein yang diaplikasikan pada Antologi Puisi Esai ”Atas Nama Cinta” Denny J.A.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Puisi Esai
1.      Pengertian
Menurut Rahman (2013), puisi esai adalah puisi yang mengemukakan sisi batin seorang tokoh (atau lebih) dalam larik-larik yang puitis, dan secara langsung mengaitkannya dengan konteks, data, dan fakta sosial lewat catatan kaki. Dengan demikian, puisi esai adalah fiksi dalam larik-larik puisi, yang secara sadar ditautkan langsung dengan fakta sosial.
Sementara itu, Sarjono (2012) lebih tertarik pada spirit yang dibawa oleh puisi esai dibanding mempermasalahkan keketatan istilah puisi esai itu sendiri. Menurutnya, beberapa spirit itu antara lain sebagai berikut.
a.         Keterlibatan penyair dengan masalah krusial yang hidup dan menjadi bagian penting dari masalah masyarakat;
b.         Rasa hormat atas fakta dengan tidak buru-buru menyimpulkan-nya secara umum suatu fakta atau fenomena (apalagi menerima begitu saja pemberitaan umum) lantas menfiksikannya;
c.         Rasa hormat atas riset untuk mengenali dengan baik dan relatif objektif masalah yang hendak ditulis sebagai puisi;
d.        Membumikan secara partikular fenomena sosial dengan segala anggapan stigmatis yang hidup di masyarakat sebagai anggapan-anggapan umum ke dalam penokohan dan latar yang spesifik;
e.         Menyadari bahwa pada hakikatnya sebuah puisi adalah aparat komunikasi. Puisi yang tidak dapat berkomunikasi dengan pembaca-nya kehilangan kebermaknaannya, baik kegagalan komunikasi itu akibat dari kegagalan penyair (obskur, misalnya) maupun akibat kegagalan pembaca (kekurangan wawasan dan pengalaman mem-baca puisi, misalnya).

2.      Syarat-syarat puisi esai
Seperti karya sastra pada umumnya, puisi esai pun memiliki syarat-syarat tertentu. Oleh pencetusnya, yakni Denny J.A., secara eksplisit dikemukakan bahwa syarat-syarat puisi esai adalah sebagai berikut.
a.       Mengeksplor sisi batin, psikologi, dan sisi human interest pelaku;
b.      Dituangkan dalam larik dan bahasa yang diikhtiarkan puitik dan mudah dipahami;
c.       Tak hanya memotret pengalaman batin individu, tapi juga konteks fakta sosialnya. Kehadiran catatan kaki dalam karangan menjadi sentral;
d.      Diupayakan tak hanya menyentuh hati pembaca/pemirsa, tapi juga dicoba menyajikan data dan fakta sosial. Karangan ini ditargetkan berhasil jika ia tak hanya menggetarkan hati, tapi juga membuat pembaca lebih paham sebuah isu sosial di dunia nyata (Denny J.A., 2012).

B.       Sekilas tentang Denny J.A., Penggagas Puisi Esai
Denny Januar Ali atau yang populernya Denny J.A., lahir di Palembang, Sumatera Selatan, 4 Januari1963. Denny J.A. menyelesaikan pendidikan S-1 di Universitas Indonesia Jurusan Hukum pada tahun 1989, gelar Master of Public Administration (MPA) diperolehnya dari Universitas Pittsburgh Amerika Serikat pada tahun 1994, dan gelar Ph.D. di bidang Comparative Politics and Business History didapatkan dari Ohio State University pada tahun 2001.
Di dunia sastra dan budaya, Denny J.A. melakukan kepeloporan atau entrepreneurship. Ia memperkenalkan genre baru puisi esai. Ini sebuah puisi yang sangat panjang, berbabak, dengan catatan kaki, dan bahasa yang mudah mengerti. Puisi esai mengangkat isu sosial. Puisi esai ditulisnya sebagai reaksi atas puisi dengan bahasa rumit, yang membuat puisi semakin terisolasi dari publik luas.
Ia juga mendapatkan rekor MURI di dunia sastra karena yang pertama membawa sastra ke era sosial media. Buku puisinya, Atas Nama Cinta (2012) menjadi buku pertama yang bisa diakses melalui akun twitter dan smartphone. Hanya dalam waktu kurang dari sebulan, HITS website-nya di www.puisi-esai.com, sudah di atas sejuta. Dalam waktu kurang dari enam bulan, HITS-nya melampaui empat juta. Ini belum pernah terjadi di buku umum sekalipun. Apalagi di buku sastra. Apalagi buku puisi.
Ia meluaskan minatnya di dunia seni, dengan juga membuat naskah drama, novel, dan film. Aneka film yang diproduksinya diputar di aneka komunitas gerakan sosial. Denny J.A. memilih karya budaya untuk menyentuh hati, menyampaikan aneka pesan sosial.
Sejak tahun 2012, Denny J.A. aktif dalam gerakan anti-diskriminasi. Ia mendirikan Yayasan Denny J.A. untuk Indonesia Tanpa Diskriminasi. Yayasan ini bergerak mempublikasi aneka karya budaya: puisi, teater, lagu, foto, lukisan dan film, untuk menularkan gagasan modern: equality dan perlindungan hukum warga negara, apapun identitas sosialnya.
Ketika terjadi tragedi Sampang (2012), Yayasan Denny J.A. bersama Satgas Perlindungan Anak, mengirimkan team pendongeng untuk memberikan semangat kepada anak-anak korban yang menjadi pengungsi. Ujar Denny J.A., Anak-anak biasanya riang. Namun, kini mereka menjadi pengungsi. Mereka terusir dari kampung halaman. Mereka menyaksikan kekerasan atas orang yang mereka cintai. Mereka tidak memilih lahir dari orang tua yang memiliki paham agama itu. Hanya karena orang tua memiliki paham agama berbeda, puluhan anak-anak yang tak mengerti itu celaka. Suatu kelak akan datang, era Indonesia Tanpa Diskriminasi.”(http://id.wikipedia.org/wiki/Denny_Januar_Ali).
Denny J.A. menikah dengan Mulia Jayaputri dan dari pernikahan ini dianugerahi dua orang anak laki-laki, Rafi Moeslim Auliya Denny dan Ramy Bary Denny. Di kalangan kawan dekat, Denny J.A. dikenal sebagai family man.” Ia acapkali mencari waktu untuk dilewati bersama dengan istri dan anak-anaknya.

C.    Contoh Puisi Esai
Untuk memberi gambaran yang komprehensif mengenai wujud puisi esai, berikut ini adalah salah satu contoh dari kelima puisi esai yang terdapat dalam buku ”Antologi Puisi Esai ’Atas Nama Cinta’ Denny J.A.”
BUNGA KERING PERPISAHAN
/1/
Di nisan suaminya
Ia taburkan melati dan kenanga
Sambil melafalkan doa
Perempuan itu Dewi namanya.
Terbius rasa pedih
Ia mohon ampun dengan suara lirih
Segala yang di dadanya terasa berat,
Segala yang di sekitarnya semakin pekat.
Sepuluh tahun sudah ia hidup
Bersama Joko, suami pilihan Ayah
Perkawinannya selalu redup
Karena Albert pilihan hatinya.
Maafkan aku, suamiku, tangis Dewi.
Sepuluh tahun lamanya sudah
Kita menikah –
Tapi tak mampu jua aku mencintaimu.
Sudah kuberikan segalanya padamu
Tapi rupanya bukan engkau milik hatiku.
Bukan engkau inti angan-anganku.
Joko, apa dayaku?
Ditaburkannya bunga sekali lagi
Sambil menelusuri isi hati,
Izinkan kuserahkan sisa hidup ini
Kepada lelaki yang kucintai.
Kini kau di alam baka –
Setelah sepuluh tahun yang tanpa warna,
Baru sepenuhnya mataku terbuka:
Cinta memang tidak bisa dipaksa.
/2/
Di kamarnya yang sunyi
Dewi membuka almari;
Diambilnya sebuah kotak kecil berwarna nila
Yang sejak menikah tak pernah disentuhnya.
Dengan gemetar kotak dibukanya:
Mawar kering itu masih di sana;
Terbayang olehnya Albert, kekasih hatinya,
Dan tersengat jiwanya oleh kisah lama.
Seolah didengarnya kata pemuda itu
Di saat perpisahan sepuluh tahun lalu,
Simpan bunga kering ini, Dewiku,
Sampai kau terbebas dari belenggu.
Kalau sampai waktunya nanti,
Kalau kita memang jodoh sejati,
Kirimlah bunga ini padaku kembali
Dan aku akan datang padamu. Aku janji!
 /3/
Tahun delapan puluhan –
Mereka kuliah, satu angkatan;
Bersahabat? Tak usah ditanya.
Cinta? Nanti dulu, agama berbeda.
Dewi sejak awal merasa
Albert lelaki istimewa,
Tapi Dewi seorang Muslimah
Sedangkan Albert anak pendeta.
Pemuda itu selalu berkata,
Aku suka ke gereja, tapi tak pasrah buta
Pada satu agama;
Aku hanya ingin menyadap intinya.
Sering disampaikannya kepada gadis itu
Segala yang dengan baik dikuasainya
Dari pengalaman, dari buku –
Dan Dewi tak pernah bosan mendengarnya.
Umat manusia, ujar Albert,
Sudah lebih dari 150 ribu tahun umurnya;
Berturut-turut agama pun diturunkan,
Diwartakan, dipertengkarkan.
Manusia lebih tua dari agama
Sudah ada cinta sejak manusia diciptakan-Nya,
Cinta lebih tua dari agama,
Janganlah agama mengalahkan cinta.
Begitulah Albert, itulah logikanya.
Namun, di balik pikirannya yang liar kedengarannya
Albert adalah pemuda yang suka menolong sesama
Lembut hatinya.
 /4/
Ia kenal pemuda itu sejak kecil
Dari desa terpencil
Sama-sama hijrah ke Jakarta
Untuk merebut cita-citanya.
Dulu, semasa bocah
Pernah mereka menyeberang sungai ke sawah
Melewati jembatan bambu – tiba-tiba patah!
Dewi tercebur, ya Allah!
Sigap Albert melompat menolongnya
Sementara kawan-kawan lain bengong, diam saja;
Ditariknya Dewi, diseretnya melawan arus deras
Diangkatnya ke tepi sungai – dibimbingnya rebah di teras.
Suatu malam Dewi bermimpi:
Ia dibonceng Albert bersepeda
Lepas gembira melewati sawah dan bukit –
Inikah pertanda mulai bersemi cintanya?
Semakin lama semakin deras perasaan sayangnya,
Tapi sejak mula disadarinya juga:
Mereka berlainan agama.
Siapa gerangan yang akan mensahkan cinta remaja?1
Terbayang olehnya
Pagar pembatas itu: memanjang di selatan
Menghalang di utara,
Di barat, di timur, di kiri dan kanan.
Semakin lama semakin dalam Dewi rebah
Dalam pelukan Albert yang gagah
Tapi ia tahu pasti
Perpisahan tak akan bisa dihindari.
/5/
Waktu yang diduga datang jua!
Dewi duduk di hadapan ayahnya
Yang dengan lugas dan tegas bicara
Tentang hakikat cinta dan agama:
Aku sangat malu
Dan aku tak akan pernah mau
Menjadi orang tua
Yang kena murka Allah.

Aku tak akan tahan
Menjadi insan dilaknat
Hanya lantaran membiarkan
Anaknya menempuh Jalan Sesat!
Dan ujung-ujungnya
Sampai juga pesan utama:
Joko pemuda santri ia perkenalkan
Sangat cocok menjadi suami Dewi.
Tekad Ayah bulat
Niatnya pekat
Albert harus dilupakan
Karena Joko suami Dewi di masa depan.
Tak sepatah kata terucap dari Dewi,
Bibirnya terkunci.
Gadis itu tertunduk, jiwanya berontak.
Tapi pesan ayahnya? Tak bisa ditolak!
Teringat ia akan masa kanak.
Tinggal di sebuah rumah sederhana;
Ayah kadang pulang larut.
Waktu itulah ibunya suka bertitah,
Lihatlah baik-baik, Nak,
Kita bisa menikmati sore dan malam
Tapi ayahmu masih mencari nafkah — berjibaku
Kita ini bagaikan benalu!
Jangan sekali-kali kaudurhakai
Pohon perkasa, sandaran hidup kita,
Jangan pernah kauganggu nurani ayahmu.
Hidup Ayah lurus rus rus rus,
Prinsip agamanya kuat wat wat wat –
Kaku?
Beku?
Katanya pada suatu hari,
Manusia diciptakan berpasangan;
Walau pemuda itu baik padamu
Tetapi ia lain agama.
Itu artinya
Ia bukan jodoh
Yang dikirim Allah
Untukmu!
Sejak kecil ia tak boleh membantah Ayah
Hidupnya selalu siap diperintah
Walau kali ini permintaan Ayah berat
Ia harus patuh bulat.
Aku akan menikah dengan Joko
Aku harus melupakan Albert
Bisa ataupun tidak
Aku harus bisa, gumam Dewi.
 /6/
Dan Albert? Ia berbeda;
Rumahnya di atas angin
Baginya agama sama saja,
Tetapi menghadapi Dewi harus panjang nalarnya.
Benar, katanya kepada dirinya sendiri,
Banyak orang tidak peduli
Dan mereka ikuti saja kata hati,2
Tapi Dewi bukan selebriti!
Ia temui para ahli Kitab
Dan diketahuinya, masing-masing punya sikap.
Itu haram mutlak! kata salah seorang
Sambil menunjukkan hukum yang jelas dan tegas.3
Yang lain bersikap sebaliknya
Berdasarkan alasan yang juga mengena.4
Pemuda itu terbuka mata
Tak ada keseragaman ternyata.
Ada pandangan yang menutup pintu kawin beda agama,5
Tapi ada juga pandangan lain yang menerima.6
Wahai, apa makna semua?
Apa peduliku?
Mengapa aku harus tunduk pada aturan itu?
Bukankah cinta lebih tua dari agama dan negara?
/7/
Namun Dewi tetaplah seorang santri
Patuh pada orang tua adalah tradisi
Cintanya pada Albert yang mendalam
Sekuat tenaga ia benam.
Joko itu ternyata cerdas dan santun,
Siapa tahu hidup kami nanti bisa rukun.
Pikirannya menerima lelaki itu
Ingin dicobanya hidup baru.
Tapi terhadap Joko mengapa hatinya seperti batu?
Dewi diam terpaku.
Mengapa pikiran dan hatinya tidak bersatu?
Dewi mulai ragu.
Albert selalu bergelora
Mampu menggetarkannya sampai ke surga,
Tapi Joko alim dan dingin
Hatinya beku seperti patung lilin.
Pernikahan pun berlangsung meriah
Demi Ibu dan Ayah, aku pasrah,
Akan kulupakan Albert, dan setia kepada suami,
Demikian janji Dewi kepada dirinya sendiri.
 /8/
Hari silih berganti, tahun datang beruntun,
Keduanya menjalani hidup yang tertuntun,
Joko pegawai negeri biasa
Dewi karyawan perusahaan swasta;
Hampir tak pernah mereka bertengkar,
Kata orang keluarga Dewi tenang.
Tapi kenapa hidupku ini hambar?
Kenapa Eros cinta pada Joko tidak juga bertandang?
Di benak Dewi bayangan Albert kerap melintas
Dan rindunya memanas:
Terbayang olehnya boncengan sepeda di pematang sawah,
Terbayang sore yang lepas dan bunga merekah.
Kepada malam yang sepi ia bertanya,
Apakah gejolak cinta hanya datang satu kali saja
Dan itu hanya untuk cinta remaja?
Mengapa setelah menua
Getaran cinta tak lagi ada?
Mengapa rasa itu hanya mekar kepada Albert, pacar masa remaja?
Mengapa tidak kepada Joko, suaminya?
Malam yang sepi tak pernah menjawab pertanyaannya.
Tapi Aku harus jadi Muslimah teladan
Patuh pada suami,
Taat pada orang tua,
Dan bakti kepada agama.
Itu harga mati, tandasnya.
 /9/
Bertahun-tahun sudah mereka berkeluarga
Tak juga lahir ada anak mereka;
Wahai, Joko ternyata memiliki kelainan
Ia tak bisa berketurunan.
Beberapa kali ia jatuh sakit.
Awalnya dianggap biasa saja
Semua manusia lain mengalaminya:
Sakit dan sehat seperti musim, datang dan pergi.
Namun, di tahun kesembilan pernikahan
Sakit Joko semakin berkepanjangan,
Semakin parah –
Tubuhnya tampak bertambah lemah.
Sebagai istri yang berbakti
Dewi memutuskan berhenti bekerja
Agar bisa merawat suami
Dan tinggal di rumah saja.
Tak putus-putus juga Dewi berdoa
Agar Joko kembali seperti sedia kala;
Meski ia sadar sepenuhnya
Bahwa itu bakti semata, bukan rasa cinta.
Dan hari itu pun tiba juga akhirnya!
Vonis dokter: Joko tak bisa bertahan lebih lama.
Dewi pun mendadak merasa bersalah
Mengapa di lubuk hatinya tetap ada masalah.
Dan ketika suaminya harus pergi
Untuk menjumpai Khalik,
Suatu malam Dewi bertahajud.
Jiwanya menangis, pikirannya ngelangut.
Ya Allah, ampunilah aku.
Segala cara telah kutempuh
Segala tenaga telah tercurah
Agar bisa menjadi
Istri yang baik, istri yang setia,
Tetapi mengapa tak kunjung terbit
Nafsu cintaku kepadanya?
Mengapa justru Albert yang selalu ada
Di pelupuk mata?
Ya Allah, aku telah gagal jatuh cinta
Kepada suamiku sendiri!
 /10/
Setahun sudah Dewi menjanda,
Ia mulai banyak membaca.
Hidup sebatang kara memaksanya menjadi baja
Ia sudah kembali bekerja.
Ia mulai lepas dari tradisi
Dihayatinya hidup yang mandiri
Filsafat dan sastra membentuk dirinya,
Ia bukan Dewi yang dulu lagi.
Suatu ketika
Ia punya niat ke kampus
Untuk melepas rindu
Masa-masa mahasiswinya dulu.
Ia duduk di taman yang dulu juga.
Suasana sudah berubah
Tetapi ada yang masih tinggal –
Masih bisa dihirupnya.
Bangku yang itu juga
Sudah berubah warna.
Di situ ia dulu masih sempat ketemu Albert
Sebelum hari pernikahan, sepuluh tahun lalu.
Saat itu senja mulai gelap
Mereka sadar segera harus berpisah;
Di pojok taman itu
Sambil berjalan Albert berkata,
Jika kautinggalkan aku
Karena tak lagi mencintaiku,
Aku pasrah.
Jika kau menikah dengan lelaki lain
Karena kamu mencintainya,
Aku terima.
Tapi aku tahu, Dewi,
Bukan itu alasanmu meninggalkanku.
Kauhancurkan cinta kita
Demi baktimu kepada ayahmu.
Demi baktimu pada tafsir agama!
Ia ingat magrib di taman itu.
Ia menangis tanpa suara.
Tak ada lagi yang bisa diusahakan:
Albert harus merelakan perpisahan.
Sebelum berpisah Albert menyerahkan
Sekuntum mawar.
Di pikirannya kata-kata itu masih melekat
Yang kadang bisa membuat hari-harinya pekat.
Dewi, simpanlah mawar segar ini.
Pada waktunya nanti
Ia akan kering dan layu;
Apa yang akan terjadi
Tak akan bisa diduga
Kecuali nasib bunga ini.
Kita tak tahu masa depan.
Jika ternyata kau memang jodohku
Dan kelak telah siap untuk bersatu denganku,
Kirimlah bunga ini sebagai isyarat;
Aku akan segera menghampirimu –
Ini janjiku.
Aku percaya dalam hidup
manusia jatuh cinta hanya sekali saja
Cintaku sudah tunai untukmu.
Dewi tidak bisa lain
Kecuali diam saja,
Dan sambil menundukkan kepala
Ia bertanya apakah Albert akan menikah juga.
Aku akan menikah dengan petualanganku –
Gunung-gunung tinggi akan kutaklukkan
Akan kujelajahi bumi yang diciptakan-Nya
Dan akan kusampaikan pertanyaanku
Di puncak setiap gunung yang kudaki,
Tuhan, mengapa tak Kau-restui cintaku
Kepada sesama ciptaan-Mu
Hanya karena, ya Allah,
Hanya karena agama kami beda?
Padahal Kau jugalah yang menurunkannya.
Tersekat tangis Dewi, dibawanya mawar itu,
Disimpannya dalam sebuah kotak
Yang akan menjaga rahasia abadi
Cintanya kepada seorang laki-laki.
Cinta sejatinya.
Cinta hatinya.
Ya, Tuhan, perkenankan aku menikah;
Bimbinglah aku agar setia pada suami
Dan jangan biarkan aku
Membuka kotak ini lagi.
/11/
Namun, apa yang tak berubah
Di bawah langit?
Pada suatu hari dibukanya juga
Kotak itu: benar, mawar itu kering dan layu.
Tapi masih diciumnya wangi baunya.
Seperti gemetar mawar layu itu di tangannya,
Ke mana gerangan hidup ini mengarah?
Muncul kembali bayangan yang sudah jadi arwah.
Di seberang jendela: langit tak ada batasnya
Awan masih tetap berkelana.
Kali ini biar kuturuti saja suara hati
Tiba sudah saatnya, berbakti kepada diri sendiri.
Ya, Allah, telah kuikuti lurus ajaran-Mu
Seturut tafsir orang tuaku;
Ayah dan Ibu, telah kuikuti pula keinginanmu
Menikah dengan lelaki yang bukan pilihanku;
Suamiku, telah kucoba melayanimu
Setia padamu sampai akhir hayatmu.
Kini tiba giliranku
Menjadi tuan bagi diri sendiri –
Izinkan aku mengikuti suara jiwaku,
Hanya tunduk pada titah batinku.
Dipandangnya lagi mawar kering itu.
Sudah tetap niatnya:
Akan disampaikannya kembali ke pemiliknya
Secepatnya. Ia pasti masih menunggu, pikirnya.
Langit tetap yang itu juga
Yang dulu mendengar janji kekasihnya:
Kapan pun bunga itu dikirim kembali
Lelaki itu akan siap menerimanya lagi.
Menakjubkan: cinta ternyata terus bertahan
Melampaui masa dan berbagai perbedaan;
Pernikahan boleh dibatalkan
Tetapi meski di dalam sekam, cinta tak padam.
Kepada Ayah dan Ibu Dewi sampaikan niatnya
Untuk kembali ke cinta lamanya.
Tapi apa kata mereka berdua?
Lebih baik menjanda daripada kawin beda agama!
 /12/
Namun, sekarang ini Dewi berbeda,
Ia tetap sayang orang tua
Ia tetap saleh soal agama.
Tapi sikap hidup? Kini ia tegak pada pendiriannya.
Ayah menghalanginya sekuat tenaga,
Menikah beda agama hanya mengirimmu ke neraka!
Jawab Dewi, Ayah ini zaman Facebook dan Twitter
Bukan era Siti Nurbaya!
Dunia sudah berubah
Bukan manusia untuk agama
Tapi agama untuk manusia
Bagi Ayah, beda agama itu masalah.
Bagiku tidak!
Ayah memang merawat fisikku sejak kecil.
Tapi jalan hidupku bukan punya Ayah!
Ayah terkaget alang-kepalang.
Dewi yang patuh sudah tiada,
Di hadapannya berdiri Dewi yang berbeda
Betapa dunia memang sudah berubah.
Hati Dewi sudah bulat
Cintanya pada Albert memanggilnya kembali;
Terbayang era bocah
Ia menemani Albert bermain layang layang di sawah.
Maka diposkannya bunga itu ke alamat kekasihnya.
Hari berganti hari, pekan berganti pekan,
Dewi tertegun: mengapa tak kunjung ada jawaban?
Ya, ya, apakah janji sudah dilupakan?
Tibalah juga sore tak terduga itu:
Seorang ibu tua mengetuk pintu,
Dan ketika dibuka,
Astaga! Ibunya Albert rupanya.
Dipeluknya Dewi, disampaikannya berita itu.
Sejak kamu menikah,
Albert tak betah lagi di rumah.
Didakinya gunung demi gunung
Entah di negeri mana –
Seperti ada yang ingin dicarinya
Seperti ada yang ingin diprotesnya.
Dan setahun lalu aku mendapat berita
Albert, anakku laki-laki itu
Tak akan pulang kembali –
Ia meninggal di sebuah gunung
Dan dimakamkan di sana.
Suara perempuan tua itu terbata-bata
Tapi kuasa menahan air matanya.
Dan Dewi? Ia menjerit sekuat-kuatnya
Sambil memeluk ibu tua itu.
Ada pesannya, sambung ibu Albert,
Sebelum pendakiannya yang terakhir
Albert menitip surat
Yang hanya boleh disampaikan
Kalau kuntum mawar sudah kaukirimkan.
Tak sabar dengan tangan gemetar
Dibukanya surat itu,
Masih dikenalinya tulisan tangan Albert –
Tetap seperti dulu.
Dewi, tulis Albert,
Mungkin sudah kaukirim kembali
Bunga kering itu sekarang.
Tapi yang akan kauterima
Hanya surat ini.
Aku tak berniat mengingkari janji!
Aku sekarang mungkin di alam lain
Dan janjiku tetap seperti dulu:
Cintaku hanya untukmu
Yang tak sampai hanya karena kita beda agama.
Dipeluknya surat itu
Diciumnya hingga basah oleh air mata
Hatinya menjerit
Melolong sampai jauh, jauh sekali…
***
1.      Pandangan ini didasarkan pada ayat-ayat al-Quran: “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.” (Al-Baqarah: 221). Dan ayat: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir, mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (Al-Mumtahanah: 10)
  1. Banyak pasangan selebriti yang menikah secara beda agama seperti Katon Bagaskara dan Ira Wibowo, Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen, Jamal Mirdad dan Lydia Kandau, Yuni Shara dan Henri Siahaan (sudah bercerai), Glenn Fredly dan Dewi Sandra (sudah bercerai), Dedi Kobusher dan Kalina, Frans dan Amara, Sony Lauwany dan Cornelia Aghata.
  2. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 05/Kep/Munas II/MUI/1980 tanggal 1 Juni 1980 menetapkan bahwa perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non-muslim adalah haram hukumnya.
  3. Ada keterangan bahwa Nabi Muhammad pernah menikah dengan Maria Qibtiyah, seorang perempuan beragama Kristen Koptik Mesir dan Sophia yang beragama Yahudi. Para sahabat seperti Usman bin Affan menikah dengan Nailah binti Quraqashah al-Kalbiyah yang Nasrani, Thalhah bin Ubaidillah menikah dengan perempuan Yahudi di Damaskus, Huzaifah menikah dengan perempuan Yahudi di Madian. Para sahabat lain, seperti Ibn Abbas, Jabir, Ka’ab bin Malik, dan Al-Mughirah bin Syu’bah juga menikah dengan perempuan-perempuan ahli kitab. Keterangan ini disampaikan oleh Prof. Musdah Mulia, Prof. Kautsar Azhari Noer, dan Prof. Zainun Kamal dalam Klub Kajian Agama (KKA) ke-200, yang digelar Yayasan Paramadina pada 17 Oktober 2003, lihat laporannya “Tafsir Baru atas Nikah Beda Agama” dalam http://icrp-online.org/082008/post-17.html.
  4. Hukum pernikahan di Indonesia diatur dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Dalam Pasal 2 ayat 1 UUP dinyatakan: “(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Untuk melindungi hak dan kewajiban suami-istri, perkawinan harus dicatat oleh lembaga yang berwenang. Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP) No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UUP No 1 Tahun 1974. Dalam Pasal 2 PP No. 9/1975 disebutkan, apabila perkawinan dilakukan oleh orang Islam maka pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat dari Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya di luar Islam, maka pencatatan dilakukan pada Kantor Catatan Sipil (KCS).
Pernikahan artis Katon Bagaskara (Kristen) dan Ira Wibowo (Muslim) dianggap sah secara hukum positif. Dan bisa memperoleh surat keterangan dari Kantor Catatan Sipil. Pasangan selebriti lainnya Ari Sihasale (Katolik) dan Nia Zulkarnaen (Islam) menikah di Perth, Australia. Pernikahan mereka disahkan oleh petugas Department of Birth, Date and Marriage Perth, setara dengan Kantor Catatan Sipil di Indonesia. Ketika mereka melaporkan perkawinannya ke Kantor Catatan Sipil di Indonesia ternyata perkawinan mereka juga dianggap sah. Petugas di KCS mengatakan bahwa apa yang dilakukan Ari dan Nia tidak melanggar undang-undang, dan telah diatur dalam Pasal 56 Ayat (1) UU Perkawinan: “Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara 2 orang WNI atau seorang WNI dengan WNA adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi WNI tidak melanggar ketentuan UU ini”. Lihat, “Nia-Ale Menikah di Kebun Bunga Nan Indah”, http://nostalgia.tabloidnova.com/articles.asp?id=2446.

D.    Pengkajian Antologi Puisi Esai ”Atas Nama Cinta” Denny J.A. dengan Metode Kritik Sosial Budaya
Grebstein dalam bukunya yang berjudul Perspectives in Contemporary Critism, khususnya dalam bagian The Sociocultural Critic (1968: 164-165) meringkas tentang pernyataan yang mungkin dibuat oleh seorang kritikus sosial budaya sebagai berikut.
1.      Karya sastra tidak dapat sepenuhnya atau benar-benar dipahami secara terpisah dari lingkungan, budaya, atau peradaban di mana ia diproduksi. Karya sastra harus dipelajari dalam konteks seluas mungkin, bukan secara otodidak. Setiap karya sastra merupakan hasil dari interaksi yang kompleks dari faktor-faktor sosial dan budaya dan karya sastra itu sendiri merupakan sebuah objek kebudayaan yang kompleks. Dalam hal apapun, karya sastra bukanlah sebuah fenomena yang terisolir.
2.      Ide-ide dalam karya sastra sama pentingnya dengan teknik dan bentuknya sendiri; bentuk dan teknik itu sendiri sebagian ditentukan atau dibentuk oleh ide-ide karya itu. Selain itu, kualitas karya sastra, respon kritis yang timbul, mengambil bagian dari kualitas ide-idenya. Tidak ada karya yang besar dan abadi yang pernah diciptakan atas dasar sepele, ide yang dangkal, atau ide-ide yang buruk. Dalam pengertian ini, sastra merupakan hal yang benar-benar serius.
3.      Setiap karya sastra yang masih bertahan adalah moral yang mendalam, baik dalam hubungannya dengan budaya yang muncul dan pada para pembaca individu. Karya sastra menjadi kurang bermoral dalam advokasi atas sebuah kode tertentu atau sistem perilaku manusia daripada dalam hal bahwa karya sastra itu memikat dalam kehidupan dan menyajikan sebuah respon evaluasi hidup. Karya sastra sebagaimana yang telah disebutkan oleh L.C. Knights adalah sebuah pengalaman moral.
4.      Masyarakat dapat berkenaan dengan sebuah karya sastra dalam dua cara: baik sebagai sebuah faktor bahan yang spesifik, kekuatan, atau sebagai tradisi, yaitu kecenderungan spiritual dan kebudayaan yang kolektif. Tren-tren budaya ini bisa termasuk tradisi sastra yang murni dan tradisional, tetapi tidak terbatas pada hal-hal tradisional tersebut (perhatikan perbedaan di sini antara penekanan dari kritikus sejarah dan kritikus sosial budaya). Dengan demikian, bentuk dan isinya dapat mencerminkan perkembangan sosiologis, misalnya, sebagai munculnya sebuah novel yang dipengaruhi oleh munculnya orang-orang kelas menengah, atau perubahan yang halus dalam watak budaya; bandingkan Trilling dan Spender yang mengikutinya.
5.      Kritik sastra harus lebih dari kontemplasi estetika yang netral dari karya sastra itu sendiri; kritik sastra harus terlibat dan berkomitmen. Kritik merupakan sebuah kegiatan penting yang dapat dan seharusnya memengaruhi produksi seni itu sendiri, bukan dengan mendikte teknik dan bahan pilihan penulis, tetapi dengan menciptakan jenis momen di mana seni yang besar ini dilahirkan dan dengan merangsang semacam pelanjutan diskusi seni yang kritis yang lebih membawa ke dalam budaya secara umum dan sebaliknya memperkuat penonton dan artisnya.
6.      Seorang kritikus bertanggung jawab terhadap sastra baik dulu maupun sekarang. Dari sastra yang luas di masa lalu, seorang kritikus memilih yang memiliki ketepatan utama sampai sekarang; minatnya tidak pernah sekadar antik atau rekonstruktif (demarkasi sosial budaya lainnya dari sejarah). Karena kebutuhan setiap generasi akan menuntut pilihan yang berbeda atau penekanan yang berbeda, pekerjaan kritikus dalam memilih dan menilai kembali secara simultan bersifat sementara dan tak berujung. Dalam aspek perannya, seorang kritikus juga merupakan seorang pembanding, dimulai dengan beberapa bahasa dan sastra, memilih karya-karya yang bersangkutan dengan mereka, dan menunjukkan hubungan antara karya yang dipilih satu sama lain, untuk penonton kontemporer dan untuk produksi seni kontemporer. Dalam hal ini perannya sebagai mediator antara seni dan penonton, seorang kritikus harus memperhatikan sebuah karya pada zamannya. Dia menganggap evaluasi karya kontemporer merupakan bagian integral dan penting dari fungsi kritis. Mungkin itu adalah alasan mengapa seorang kritikus sosial budaya banyak sangat aktif sebagai pengulas, sedangkan kritikus bidang lainnya dapat mempertimbangkan peninjauan fungsi perifer atau sekunder (Bandingkan dengan Damono dalam Endraswara, 2011: 92).
Menyimak beberapa pernyataan tersebut, penulis berkeyakinan bahwa cukup beralasan jika antologi puisi esai Denny J.A. yang kental dengan nuansa sosial budaya dikaji dengan kritik jenis ini.
Jika ditinjau dari latar belakang penciptaan puisi, khususnya dari segi tema yang diusung, perlakuan diskriminatif itu berhubungan dengan kritik sosial, kepedulian terhadap orang lain dan lingkungan sekitar, interaksi dengan manusia, ungkapan pengalaman pribadi, potret keadaan sosial, motivasi untuk berbuat baik, mengangkat isu-isu yang berkembang, berusaha memberikan nilai-nilai di masyarakat, proses kreatif terinspirasi dari pengalaman dan masalah di sekitar penyair, keadaan sosial budaya yang ada di sekitar dan mood penyair, proses kreatif muncul dari hasil membaca, melihat suatu peristiwa, dan pengalaman penyair, puisi yang ditulis mencerminkan keadaan sosial dan budaya yang ada di dalam diri pribadi dan di sekitar penyair, keadaan sosial dan budaya di lingkungan penyair, baik yang berpengaruh positif hingga lingkungan yang berpengaruh negatif tentu sedikit banyaknya memengaruhi penciptaan puisi esai ini.
Seperti telah diungkapkan di atas, setidaknya ada lima isu diskriminasi dalam berbagai peristiwa yang diangkat Denny J.A., yakni diskriminasi terhadap bangsa Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998 (”Sapu Tangan Fang Yin” [STFY]), diskriminasi aliran (?) agama Islam dalam musibah Ahmadiyah (”Romi dan Yuli dari Cikeusik” [RYC]), diskriminasi terhadap pembantu rumah tangga dalam petaka TKW (”Minah Tetap Dipancung” [MTD]), diskriminasi terhadap kelainan orientasi seks dalam perkawinan sejenis (”Cinta Terlarang Batman dan Robin” [CTBR]), dan diskriminasi perbedaan agama dalam kasih tak sampai karena perbedaan agama (”Bunga Kering Perpisahan” [BKP]). Dari lima buah puisi tersebut, terdapat sebanyak 39 buah catatan kaki.
Bachri (2012) mengungkapkan bahwa puisi ”STFY” adalah kisah perlawanan Fang Yin ke dalam, terhadap diri sendiri. Tidak seperti beberapa sajak lainnya, mengisahkan perlawanan ke luar, terhadap orang lain, Fang Yin yang disibukkan dengan deritanya sendiri sebagai korban kekerasan dan perkosaan, membenci Indonesia, akhirnya bisa melihat sisi positif Indonesia, dan mulai mencintai negeri itu. Ya, kisah perjalanan jatuh cinta pada Indonesia setelah sebelumnya melalui berbagai derita, benci, dan kerinduan. Di Jakarta Fang Yin diperkosa, ditinggalkan pacar, mengungsi ke Amerika, setelah 13 tahun, ingin kembali ke Indonesia.
Klimaks kisah ditampilkan dengan Fang Yin membakar sapu tangan —lambang cinta— pemberian kekasihnya. Kenangan cinta lama dibakar dengan munculnya rasa cintanya terhadap Indonesia yang dulu pernah dibencinya.
Fang Yin adalah orang Tionghoa yang menjadi salah satu korban kekerasan dan perkosaan dalam kerusuhan Mei 1998. Orang-orang Tionghoa pada waktu itu telah menjadi sasaran amuk massa, tanpa alasan yang jelas mengapa hal itu bisa terjadi. Simaklah sedikit kutipannya berikut ini!

SAPU TANGAN FANG YIN
….
Apa arti Indonesia bagiku? bisik Fang Yin kepada dirinya sendiri.
Ribuan keturunan Tionghoa1 meninggalkan Indonesia:
Setelah Mei yang legam, setelah Mei yang tanpa tatanan
Setelah Mei yang bergelimang kerusuhan.2
Hari itu negeri berjalan tanpa pemerintah
Hukum ditelantarkan, huru-hara di mana-mana
Yang terdengar hanya teriakan
Kejar Cina! Bunuh Cina! Massa tak terkendalikan.
….
Puisi esai ”RYC” berkisah tentang cinta dua remaja yang terhalang perbedaan paham agama (Islam). Rokhmat atau Romi saling mencintai dengan Juleha atau Yuli. Romi memiliki orang tua pengikut Ahmadiyah, sedangkan Yuli Islam garis keras. Kedua orang tua mereka sangat menentang percintaan mereka dengan berbagai alasan yang dikaitkan dengan keyakinan masing-masing. Adanya kecenderungan pendiskriminasian hal tersebut dapat dilihat seperti dalam kutipan berikut ini.

ROMI DAN YULI DARI CIKEUSIK
….
Foto Romi di tangannya,
Kekasihnya;
Diingatnya Ayah
Yang membesarkannya –
Mengapa aku tak bisa memiliki keduanya?
Ah, yang seorang umat Ahmadiyah
Seorang lagi Muslim garis keras.
Pedas, keras ucapan ibunya
Setiap kali perempuan itu memperingatkannya,
Kita di Indonesia, tidak di Amerika.
Di sini agama di atas segala
Tak terkecuali cinta remaja.
….
            Kisah tragis dialami oleh Aminah atau Minah dalam puisi ”MTD”. Dikisahkan bahwa Minah seorang Ibu Muda dari sebuah kampung di Cirebon.Ia ingin mengubah hidupnya yang serba kekurangan dengan merelakan dirinya bekerja sebagai TKW di Arab Saudi meninggalkan suami dan seorang anaknya. Nasib malang menimpanya ketika majikan laki-lakinya berkali-kali memperkosanya meski setiap diperlakukan demikian ia diberi imbalan uang real yang cukup banyak. Hati Minah menjerit, meronta, melawan, namun tidak kuasa membendung nafsu majikannya. Akan tetapi, saat hendak diperkosa untuk ke sekian kalinya dan majikannya menghunuskan sebilah pisau, pada suatu kesempatan ia dapat merebut pisau itu dan menusukkannya ke perut majikannya hingga tewas. Minah terbebas dari perkosaan majikannya, tapi tidak dari hukuman pancung.
Kleden (2012) menulis dalam esainya sebagai simpati pada Minah, ”Kian terasa bahwa lemahnya pembelaan politik dan absennya pembelaan hukum, telah melahirkan pembelaan dalam puisi esai yang Anda hadapi sekarang ini.” Kutipan berikut memberikan sedikit gambaran mengenai nasib sebagian TKW di Arab Saudi.

MINAH TETAP DIPANCUNG
….
Aminah namaku,
Minah panggilanku, TKW asal Indonesia
Kerja di Saudi Arabia
Sebagai pembantu rumah tangga.

Kini aku sudah mati
Algojo memenggal leherku
Karena telah membunuh majikan
Yang berulang kali memperkosaku
Dan menyiksa jiwaku.

….
Pemerintah memberikan tanggapan
Tapi untuk kasusku,
Itu sudah ketinggalan kereta.
Upaya hukum telat
Upaya diplomasi politik tak dirintis dari awal
Dan tidak ada pembelaan di pengadilan –
Ya, ya, harus aku jalani
Hukuman pancung.
Ya, ya, aku harus dipancung!

….
Sementara itu, puisi ”CTBR” berkisah tentang cinta sesama jenis atau kaum homoseks atau gay antara Bambang dan Amir yang oleh teman-teman kecil mereka dijuluki Batman dan Robin. Amir yang merasa berjiwa perempuan mencintai temannya yang (katanya) perkasa: Bambang. Bambang pun memiliki perasaan yang sama kepada Amir. Cinta mereka tumbuh subur saat di sekolah menengah. Namun, Amir ragu akan pilihannya itu. Ia takut dan malu untuk berterus terang kepada orang lain terutama ibunya. Ia sadar bahwa masyarakat luas tidak akan menerimanya. Ia berusaha menjadi lelaki normal, mencoba dekat dan mencintai Sarinah, tapi belum berhasil juga, gagal. Sebelum ibunya meninggal, Amir menerima wasiat agar menikahi gadis cantik pilihan sekaligus murid ibunya, Rini. Itu pun dilakukannya, tetapi kemudian kandas lagi. Hatinya tetap terpaut pada Bambang. Kutipan berikut ini sedikit menggambarkan tentang adanya penolakan anggota masyarakat terhadap perilaku menyimpang perbuatan homoseks.

CINTA TERLARANG BATMAN DAN ROBIN
….
Pernah, ketika Amir iseng bertanya
Kepada guru mengaji
Tentang cinta yang tumbuh
Di antara dua orang laki-laki.

Sang Guru langsung berkobar,
Itu terkutuk, neraka, laknat,
Sampah yang dikucilkan masyarakat!
Disemprotkannya segala sumpah-serapah.

….      
Dapat dimaklumi apabila guru mengaji merasa jijik dengan cinta sejenis tersebut. Bagaimana tidak? Allah Swt. telah menegaskan dalam Alquran bahwa hal demikian itu terlarang hukumnya dan pasti mendatangkan azab yang pedih. Hal seperti ini pernah dialami oleh sebagian umat yang ingkar akan perintah Tuhan, yakni umat Nabi Luth. Dunia kedokteran pun mensinyalir bahwa hubungan sejenis ini merupakan salah satu penyebab penyakit AIDS. Dapat dimengerti jika penyanyi Farid Hardja (almarhum), dalam sebuah lagu yang sempat dipopulerkannya, memelesetkan akronim salah satu jenis penyakit yang belum ditemukan obatnya itu sebagai ”Akibat Intim dengan Sejenis”.  
Lain halnya dengan puisi ”BKP”. Diskriminasi perbedaan agama lebih menonjol dalam kisah cinta antara Dewi, seorang Muslimah dan Albert yang Nasrani, tetapi ditentang oleh keluarga Dewi karena hal itu bertentangan dengan ajaran agamanya. Mereka cukup lama berpacaran, tapi karena bapaknya Dewi melarang menikah dengan orang yang lain agama, akhirnya Dewi menikah dengan laki-laki Muslim, Hartono, kekasihnya dulu yang meninggalkannya karena harus menempuh pendidikan di Mesir. Hanya saja digambarkan di situ meski keluarganya cukup kaya, Dewi tidak bahagia, ia sering melamun ke Albert dan mengingat masa lalunya dengannya. Namun, orang tuanya bersikukuh bahwa haram hukumnya seorang perempuan muslimah menikah dengan laki-laki non-muslim. Hal itu tampak dalam kutipan berikut.

BUNGA KERING PERPISAHAN
….
Hidup Ayah lurus rus rus rus,
Prinsip agamanya kuat wat wat wat –
Kaku?
Beku?
Katanya pada suatu hari,
Manusia diciptakan berpasangan;
Walau pemuda itu baik padamu
Tetapi ia lain agama.
Itu artinya
Ia bukan jodoh
Yang dikirim Allah
Untukmu!
….
            Mengenai ide puisi esai Denny J.A. patut kiranya diberi acungan jempol meski menurut Mahayana (2012) hal ini sudah dilakukan oleh para penyair tempo dulu seperti Ajip Rosidi, Ramadhan K.H., Rendra, Taufiq Ismail, atau Ridwan Saidi (Lagu Pesisiran, 2008) yang di sana-sini sengaja pula menyertakan catatan kaki. Adapun mengenai tema yang diusung, yakni isu diskriminasi, terlihat bahwa hanya dua puisi yang memenuhi syarat diskriminasi dalam arti tidak seharusnya terjadi hal seperti itu (puisi ”STFY” dan ”MTD”).
Sedangkan isu diskriminasi perbedaan paham agama (baca: aliran sesat) dalam ”RYC”, diskriminasi terhadap kaum homoseks dalam ”CTBR”, serta diskriminasi terhadap pernikahan beda agama dalam ”BKP” merupakan reaksi juga antisipasi ternodanya norma agama dan norma masyarakat. Hal ini merupakan sikap diskriminasi positif dari masyarakat yang memegang teguh aturan-aturan agama yang tercantum dalam kitab suci serta hadits Nabi Muhammad Saw. Selain itu, sikap mengagung-agungkan dan atau mengatasnamakan cinta dengan menyepelekan aturan agama jelas bukan akhlak yang terpuji. Indonesia memang berbeda dengan Amerika atau Barat yang menganut paham liberal, yang membolehkan kaum homoseks menikah, membangun keluarga yang tentu tidak sakinah mawaddah warahmah. Ya, bagaimana jadinya laki-laki menikah dengan laki-laki? Bagaimana regenerasi umat manusia akan tercipta jika salah satu dari ”pasangan pengantin” itu tak punya rahim? Mana ayah dan mana ibu? Haruskah hal mahagila ini ditolerir, diikuti, ditumbuhsuburkan di Indonesia? A’udzubillahimindzalik!
Adapun mengenai diskriminasi terhadap kaum Ahmadi, hal itu pun merupakan pembentengan umat Islam terhadap upaya-upaya penodaan aqidah Islamiyah. Bahkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI), melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, jelas-jelas telah melarang kegiatan-kegiatan kaum Ahmadi sebelum mereka bertaubat dan kembali ke jalan yang benar. Allah Swt. telah berfirman bahwa Muhammad merupakan Nabi akhir zaman dan tidak ada lagi Nabi sesudahnya atau ”La nabiyya ba’dah!”. Dengan demikian, bukan umat Islam dan bukan pula agama Islam jika mengakui ada Nabi setelah Nabi Muhammad, seperti yang dipercayai oleh kaum Ahmadiyah yang mengaku-ngaku Islam, tetapi keukeuh bersaksi bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi mereka.
Diskriminasi terhadap pernikahan beda agama pun dapat dimaklumi karena jelas-jelas Allah Swt. telah berfirman dalam Alquran, ”Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.” (Al-Baqarah: 221). Dan ayat: ”Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir, mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (Al-Mumtahanah: 10).
Sayuti (dalam Yudiono K.S., 2009:185-186) berpendapat bahwa paspor kepenyairan seseorang adalah puisi-puisinya, bukan yang lain, apalagi celoteh apologis demi menutupi kemandulan atau kebuntuan proses kreatif. Maksudnya jelas bahwa dengan puisi-puisi itulah seorang penyair berbicara secara subjektif kepada khalayak pembaca, dan pada gilirannya pembacalah memberikan makna pada puisi, baik terkait dengan dunia penyair maupun konteks dunia yang dipresentasikannya, bahkan terkait juga dengan pembaca dan dunia puisi itu sendiri.
Lebih lanjut diungkapkan bahwa perubahan kebudayaan modern yang begitu cepat menyebabkan banyak orang yang ”gagap budaya” karena tidak memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang mesti dilakukan untuk mengatasinya. Akibat selanjutnya, banyak orang terjebak dalam ”kulit” dan lupa ”daging-daging”, apalagi ”ruh” dan bahkan kehilangan eksistensi kemanusiaannya. Masalah itu harus diatasi dengan berbagai cara, termasuk strategi kebudayaan yang salah satunya adalah memanfaatkan karya sastra (Sayuti dalam Yudiono K.S., 2009:182).
Pertanyaannya, apakah Denny J.A. seorang yang gagap budaya atau gagap-gagapan? Dia kelihatan begitu memihak terhadap sesuatu yang tidak layak untuk dipihaki. Dia juga terbukti begitu menyanjung-nyanjung Amerika, negeri tempat ia menuntut ilmu menempuh S-2 dan S-3-nya. Setidaknya ada 24 buah kata yang berbau Amerika/yang berhubungan dengannya/Barat yang mungkin menjadi kiblat idealisme Denny J.A. dalam puisi esainya, seperti dapat dibaca pada beberapa kutipan larik: /Dibukanya jendela kamar: kelam langit Los Angeles/ (bait ke-2 STFY); /Fang Yin sekeluarga mengungsi ke Amerika/ (bait ke-11 STFY); /Mereka tinggal berdekatan di New York, Philadelphia/ (bait ke-11 STFY); /Los Angeles, New Jersey – bagaikan perkampungan Indonesia/ (bait ke-11 STFY); /Minggu-minggu pertama di Amerika/ (bait ke-12 STFY); /13 tahun sudah ia di Amerika, tumbuh keinginannya/ (bait ke-15 STFY); /Setahun lalu psikolognya, warga Amerika, bilang/ (bait ke-24 STFY); /Fang Yin dan keluarga terbang ke Amerika/ (bait ke-78 STFY); /Menjadi warga Amerika…./ (bait ke-83 STFY); /Paspor Amerika Serikat sudah di tangannya/ (bait ke-87 STFY); /Untuk tinggal di Amerika Serikat sendiri/ (bait ke-91 STFY); /Amerika hanyalah tempat sementara untuk singgah/ (bait ke-94 STFY); /Sejak kepindahannya ke Amerika/ (bait ke-98 STFY); /13 tahun lalu, ia datang ke Amerika/ (bait ke-114 STFY); /Tengok di negeri Paman Sam, kata Roi berapi-api/ (bait ke-53 CTBR); /Di negeri itu, beberapa negara bagian/ (bait ke-54 CTBR); /Presiden Obama pun membela mereka/ (bait ke-54 CTBR); /Bambang kini menetap di San Francisco/ (bait ke-117 CTBR); /Menjadi warga negara Amerika Serikat/ (bait ke-117 CTBR); /Menikah resmi dengan sesama jenis asal Los Angeles – di gereja sana/ (bait ke-117 CTBR); /Kita di Indonesia, tidak di Amerika./ (bait ke-6 RYC); /Dipelajarinya filsafat dan pengetahuan Barat/ (bait ke-18 RYC).
Hal inilah mungkin yang menjadi salah satu penyebab bagi sebagian orang di Indonesia yang kurang bersimpati (di samping yang simpati) terhadap usaha Denny J.A. Dalam tulisannya, Hidayat (2012) mengungkapkan bahwa Dalam puisinya tentang ”Cinta Terlarang Batman dan Robin”, misalnya, Denny pintar memainkan kata-kata untuk membela kaum Gay. Bila Hanung Bramantyo kemudian memfilmkan naskah puisi Denny ini –dengan latar belakang pesantren dan kabarnya film ini sudah dirilis Oktober 2012 kemarin— maka sebenarnya Hanung dan Denny bisa dikatakan menggambarkan kejelekan Muslim dan membela opini bahwa gay adalah masalah genetika. Padahal, para ahli banyak menyatakan bahwa gay atau homoseksual banyak diakibatkan oleh lingkungan. Karena kalau itu masalah gen, tidak bisa disembuhkan.
Denny J.A. adalah murid kesayangan pengamat politik masalah Indonesia, Prof. R. William Liddle. Guru besar Ilmu Politik Ohio University yang juga orientalis ini pernah dijuluki Prof. Dr. Amien Rais sebagai ”Yahudi Tengik” dalam sebuah wawancara dengan Majalah Media Dakwah terbitan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII). Pria yang akrab disapa ”Pak Bill” itu sejak era 90-an amat dipuja-puja dan dijadikan rujukan media-media di Indonesia, meski ia sangat aktif menulis dengan terang-terangan membela ide-ide sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme.
Meski tidak terang-terangan (karena pemikiran-pemikiran Denny disampaikan dengan cara mentransfernya pada tokoh fiktif dalam puisi esai), adanya keinginan untuk menghilangkan diskriminasi, khususnya yang diisukan dalam kelima puisi esainya, sudah barang tentu tidak dapat diterima semuanya. Langkah halusnya yang dapat dikategorikan sebagai tawaran-tawaran (kalau tidak boleh disebut pemaksaan) ideologi yang dirasuki pemikiran nyeleneh ala Barat (baca: Amerika Serikat) perlu diantisipasi serta diwaspadai. Pembelaannya terhadap kaum Ahmadiyah, kaum homoseks, dan pernikahan beda agama (perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim) adalah pengharapannya pada kebebasan dalam arti yang seluas-luasnya. Hal inilah yang bertentangan dengan agama (terutama Islam) juga falsafah Pancasila. Pengadopsian budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, apalagi hendak mengembangkan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai hakiki kemanusiaan dengan mengatasnamakan cinta, bukanlah perilaku yang terpuji.
Alangkah indahnya jika kepeloporan dan prestasi Denny J.A. ditopang dengan niat baik untuk memberi pencerahan, hiburan, kebajikan, dan hal-hal yang berlaku secara universal namun tidak melanggar norma-norma agama melalui puisi esainya.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan
Diluncurkannya antologi puisi esai ”Atas Nama Cinta” karya Denny J.A. layak mendapat apresiasi. Pembaruannya dalam bidang kesusastraan, khususnya puisi memberikan warna baru dalam khazanah sastra Indonesia. Isu diskriminasi yang diusungnya berkaitan dengan fenomena sosial yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat dan dialami oleh sebagian anggota kelompok masyarakat tersebut.
Sepanjang isu diskriminasi itu sesuai dengan aturan-aturan atau norma agama, norma masyarakat, dan kehidupan yang universal, kita tentu dapat memakluminya dan menerima sebagai kritik yang konstruktif dalam hal membenahi atau meluruskan hal-hal yang termasuk melanggar norma-norma tersebut. Akan tetapi, manakala isu diskriminasi itu memang diperlukan sebagai sesuatu yang positif yang merupakan reaksi dari penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, jangan dipaksakan untuk ditiadakan. Tidak semua sikap diskriminatif itu negatif. Justru yang harus dicari itu adalah penyebab mengapa diskriminasi itu muncul dan bagaimana solusi terbaik agar tidak diperlakukan secara diskriminatif.
Dari lima buah puisi yang diperkenalkan, dua buah mengusung isu diskriminasi yang positif; dan tiga buah lagi mengusung isu diskriminasi yang negatif. Ada kecenderungan keberpihakan Denny J.A. kepada pengagungan cinta semata, penyamaan agama dan aliran-alirannya, pernikahan sesama jenis, serta liberalisme ala Amerika.
Menumbuhsuburkan fenomena sosial yang merupakan patogen bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan beragama sama halnya dengan menghancurkan tatanan kehidupan itu. Kembali ke jalan Tuhan serta istiqomah terhadap petunjuk-petunjuk-Nya adalah pilihan yang paling baik.

B.     Saran
Berdasarkan pembahasan dalam makalah ini, kiranya dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut.
1.         Penyair hendaknya menyempurnakan puisi esai dengan mengusung beragam tema yang mempertimbangkan sisi kemanusiaan yang universal tanpa harus melanggar firman-firman Tuhan yang tertulis dalam kitab suci.
2.         Puisi esai yang diciptakan hendaknya memiliki tujuan yang mulia, berdampak positif, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian yang universal.
3.         Catatan kaki sebagai sesuatu yang sentral sebaiknya diambil dari sumber-sumber yang kesahihannya diakui dan teruji sehingga akan lebih memperkuat nilai keesaiannya.
4.         Para pembaca puisi esai mesti jeli untuk mimilih dan memilah yang mana merupakan fakta dan yang mana merupakan fiksi. Dengan demikian, ada pemisahan dalam hal pemahaman yang jelas terhadap rentetan peristiwa di dalamnya.
5.         Meski mungkin sulit, penyair sebisa mungkin untuk bersikap adil dalam menulis puisi esai, mengungkap secara komprehensif setiap permasalahan sehingga diketahui dengan jelas duduk permasalahannya. Catatan kaki harus lebih diberdayakan dalam hal ini dan hendaknya menggunakan berbagai sumber primer yang kredibel, valid, serta reliabel, seperti kitab suci, buku-buku, artikel media massa, artikel di situs-situs internet yang sangat erat kaitannya dengan tema-tema puisi yang ditulis.
6.         Jika ada di antara pembaca yang berkeinginan untuk mencoba menulis puisi esai, apapun tema yang diusungnya, hendaknya dapat bersikap netral dan tidak gegabah dalam mempengaruhi pembaca lainnya untuk mengikuti keinginan-keinginan yang sudah jelas bertentangan dengan norma-norma agama.

DAFTAR PUSTAKA

Bachri, Sutardji Calzoum. 2012. Satu Tulisan Pendek untuk Lima Puisi Panjang. Tersedia: http://www.puisi-esai.com. Diakses: Senin, 25 Februari 2013.
Departemen Agama RI. 1427 H. Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemah Bahasa Indonesia (Ayat Pojok). Kudus: Menara Kudus.

Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra-Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi, Edisi Revisi. CAPS: Yogyakarta.

Grebstein, Sheldon Norman. 1968. Perspectives in Contemporary Criticism: A Collection of Recent Essays by American, English, and European Literary Critics. New York: Harper & Row Publishers.

Hidayat, Nuim. 2012. Kisah Gerakan Liberalisme Denny J.A. dan “Yahudi Tengik”. Tersedia: http://ruangjuang.wordpress.com/2012/09/27/kisah-gerakan-liberalisme-denny-ja-dan-yahudi-tengik/. Diakses: Senin, 25 Februari 2013.

http://id.wikipedia.org/wiki/Denny_Januar_Ali. Diakses: Kamis, 14 Maret 2013.

J.A., Denny. 2012. Isu Diskriminasi dalam Puisi Esai. Tersedia: http://www.puisi-esai.com. Diakses: Rabu, 13 Maret 2013.

Kleden, Ignas. 2012. Menghadapi Diskriminasi dengan Puisi. Tersedia: http://www.puisi-esai.com. Diakses: Senin, 25 Februari 2013.

K.S., Yudiono. 2009. Pengkajian Kritik Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington-London: Indiana University Press.
Sarjono, Agus R. 2012. Puisi Esai Sebuah Kemungkinan Sebuah Tantangan. Tersedia: http://puisi-esai.com/2012/06/21/puisi-esai-sebuah-kemungkinan-sebuah-tantangan/. Diakses: Jumat, 15 Maret 2013.
Teeuw, A. 1981. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.

 




 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

This blog contains things related to education and learning. More specifically, it is closely related to Indonesian Language and Literature. You can also participate in appreciating this blog, at least by reading it, taking lessons in it, or making comments. Hopefully it will be useful for enriching insight, loving Indonesian language and literature, and advancing education in Indonesia.

Biasakan berkomentar setelah membuka atau membaca materi di blog ini. Terima kasih.

Antologi Puisi

Ironing the United States (2)

Sumber gambar: https://www.kaskus.co.id/thread/594c4961529a45e3218b4567/wanita-patung-liberty-ternyata-muslimah/ Baren ...