Free INDONESIA Cursors at www.totallyfreecursors.com

Kamis, 21 Maret 2019

EGG BOY







Baren Barnabas:

AWARD FOR EGG BOY


We don't know who you are
we don't know your origin
we don't know you at all

Your face is drawing various media
on television we have your face
in our paper there is your face
on Twitter, Facebook, Instagram, YouTube ...
there is your face
your face becomes countless
fill the world
the world smiled and praised you

Hi, boy who has a lot of courage
we are now familiar with you
you become part of our family
world family
civilized human world

The eyes of the world widen
his heart stopped beating
see what you do to a leader
who has no feelings
talk a lot with a little brain
the leader who lost his eyes,
lost his heart,
and lost his humanity
he doesn't care about the world crying
the victims who were shot dead
when they pray Friday
in Christchurch City, New Zealand

Hi, boy who has a lot of courage
your heart is white as snow
clear like Zamzam water
to be able to feel suffering
when your conscience is bombarded with lightning
your dam of anger can no longer be detained
and the flood overflowed instantly

The little brained head got wet
throwing objects the size of a grenade
but, it's not a grenade
and wet not by blood,
but by spills of protein from eggs
not painful, but humiliating him
very special gift

Hi, boy who has a lot of courage
we are very proud of you
we march behind you
we are happy with your action
simple, but luxurious

If you need,
we are ready to give command to the hens

so that they are more diligent in laying eggs

for you to throw to the head
soulless leaders, brainless leaders, and arbitrary leaders in power

Hi, boy who has a lot of courage
we wish you one day
You become a leader who is true, conveying, trustworthy, and intelligent
Aamiin.
                                                                         Indonesia, March 16, 2019





































Selasa, 12 Maret 2019

ESAI INTERTEKSTUAL


CHAIRIL ANWAR
Sumber: http://style.tribunnews.com/2017/03/21/film-chairil-anwar-mulai-digarap-tahun-2018-siapa-aktornya













REMY SYLADO
Sumber: https://www.idntimes.com/hype/fun-fact/francisca-christy/9-penyair-ini-bikin-kamu-tergila-gila-dengan-puisi-mereka-1/full


PUISI
”AKU” KARYA CHAIRIL ANWAR 
DAN 
PUISI ”DI BLOK APA?” KARYA REMY SYLADO:
HUBUNGAN INTERTEKSTUAL YANG MENGEJUTKAN

 
 
oleh
Baren Barnabas


Sebuah puisi lahir dari rahim pemikiran, pengalaman, keinginan, imajinasi, peristiwa, dan atau hasil penginderaan penyairnya. Dalam hal menuangkan ide-idenya itu, si penyair, baik secara sadar ataupun tidak, secara sengaja ataupun tidak, kadang-kadang dipengaruhi dan atau diilhami oleh sebuah atau beberapa buah karya yang sudah ada. Entah itu sebagai reaksi persetujuan, penolakan, pembelokan ide, pengambilan sebagian, atau pengungkapan kembali dengan visi yang berbeda. Karya yang mengilhami atau melandasi sebuah karya lain itu disebut hipogram, sedangkan hasil karya dari proses itu disebut teks transformatif.

Dalam hal ”ilham-mengilhami” tersebut, muncullah teori intertekstualitas. Sebenarnya, pendekatan intertekstual diilhami oleh gagasan pemikiran Mikhail Bakhtin, seorang filsuf Rusia yang mempunyai minat besar pada sastra. Menurut Bakhtin, pendekatan intertekstual menekankan pengertian bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan atau kutipan. Pada perkembangan selanjutnya, pendekatan intertekstual tersebut dipopulerkan oleh Julia Kristeva (Worton dan Still, 1990: 1). Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin dari kutipan, peresapan dan transformasi teks-teks lain. Sewaktu pengarang menulis, pengarang akan mengambil komponen-komponen teks yang lain sebagai bahan dasar untuk penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna dengan penyesuaian dan jika perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya yang utuh. Jadi, teori ini merujuk pada pemaknaan sebuah karya sastra (dalam esai ini mengkhususkan diri pada puisi) dengan cara membandingkan dengan karya sastra lain yang menjadi hipogramnya atau yang ”mengilhaminya”.
Dunia perpuisian Indonesia pun ternyata tak lepas dari hubungan intertekstual ini. Salah satu contoh dari sekian banyak contoh hubungan intertekstual itu adalah adanya keterkaitan yang mengejutkan antara puisi ”Aku” karya Chairil Anwar, pelopor Angkatan ’45 dalam bidang puisi, dan puisi ”Di Blok Apa?” karya Remy Sylado, salah seorang pencetus puisi mbeling tahun 1972 (Puisi Mbeling Remy Sylado, 2004: xii).
Gerangan apakah yang mengejutkan itu? Mari kita simak selengkapnya kedua puisi yang dimaksud.
AKU
Kalau sampai waktuku
’Ku mau tak seorang ’kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari

Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
(Deru Campur Debu, 1959:7)

DI BLOK APA?
Kalau
Chairil Anwar
binatang jalang
Di blok apa
tempatnya
di Ragunan?
(Puisi Mbeling Remy Sylado, 2004:14)
Anda tersenyum simpul di antara keterkejutan, bukan? Jangan malu-malu, tersenyumlah karena senyum itu ibadah.
Memang, ada perbedaan sudut pandang di sini. Setidaknya, Remy Sylado yang dewasa itu mengubah dirinya jadi seorang yang lugu. Karena keluguannya itulah ia menjadi lugas dalam memaknai frase ”binatang jalang” dari larik ”aku ini binatang jalang”. Agar berbau ilmiah, sebut saja denotasi sebagai dasar pemaknaan Remy dan konotasi untuk Chairil. Konotasi yang dibangun Chairil melalui majas metafora boleh jadi merupakan wujud semangat pemberontakannya yang penuh vitalitas. Pemberontakan yang dimaksud kemungkinan ditujukan pada ”Pujangga Baru”, sebuah majalah yang didirikan dan dipimpin Sutan Takdir Alisyahbana, yang lebih dahulu eksis di kancah perpuisian Indonesia (para penyair yang karya-karyanya dimuat dalam majalah itu kemudian dinamai Angkatan Pujangga Baru). Bisa juga merupakan motif pantang menyerah dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Sementara itu, Remy juga sebetulnya melakukan hal yang sama, yakni memberontak terhadap karya-karya puisi yang terbit di majalah Horison, sebuah majalah yang dikelola H.B. Jassin, satu-satunya majalah sastra yang merupakan barometer mutu sastra Indonesia waktu itu. 
Chairil (dalam Esten, 1990: 13) pernah berkata, ”Sesudah mana mendurhaka pada Kata kita lupa bahwa Kata adalah yang menjalar mengurat, hidup dari masa ke masa, terisi padu dengan penghargaan, Mimpi, Penghargaan, Cinta dan Dendam Manusia. Kata ialah Kebenaran!!!” Dengan demikian, lanjut Esten, Chairil menempatkan kata pada kedudukan tersendiri. Kedudukan justru pada maknanya, bukan pada wujud lahirnya. Ia menempatkan kata pada kedudukan yang amat penting, melalui makna yang terkandung di dalamnya.
Pemberontakan Chairil terhadap Pujangga Baru merupakan pemberontakan estetika, pemberontakan terhadap konvensi-konvensi susastra (lama) yang melilit perpuisian Indonesia saat itu, yakni membebaskan puisi dari keteraturan rumus-rumus rima, jumlah larik tiap bait, serta bunga-bunga bahasa yang melankolis. Bagi Chairil, yang terpenting adalah makna. Sebagai salah satu bukti dari pemberontakan itu adalah judul yang ia pilih untuk sebuah buku antologi puisi yang diterbitkan bersama kedua kawan seangkatannya, Asrul Sani dan Rivai Apin, yaitu ”Tiga Menguak Takdir” (Balai Pustaka, 1950). Kata ketiga dari judul itu sengaja dibuat ambigu: takdir sebagai ”yang sudah lebih dahulu ditentukan oleh Allah; keputusan Tuhan”, yakni sebagai pencerminan jiwa mereka bertiga dalam hal mencoba menguak, memahami, dan menghayati misteri kehidupan manusia; atau upaya mereka bertiga untuk menghadapi eksistensi Takdir, tokoh Angkatan Pujangga Baru, yakni Sutan Takdir Alisjahbana.
Di sisi lain, pemberontakan Chairil terhadap penjajah dengan menyimbolkan dirinya (baca: rakyat Indonesia) sebagai binatang jalang. Sifat-sifat binatang jalang itu antara lain susah ditaklukkan (’Ku mau tak seorang ’kan merayu), tak kenal rasa sedih/tangisan (Tak perlu sedu sedan itu), tak kenal rasa takut (Biar peluru menembus kulitku), bersifat menyerang untuk merebut yang diinginkannya---kemerdekaan--- (Aku tetap meradang menerjang), tak kenal rasa sakit (Luka dan bisa kubawa berlari), tak kenal aturan---yang dibuat penjajah---(Dan aku akan lebih tidak perduli), dan memiliki semangat hidup yang tinggi (Aku mau hidup seribu tahun lagi).
Akan halnya Remy, ia mewakili ”penyair-penyair kelas pinggir” yang karya-karyanya susah menembus majalah Horison pimpinan H.B. Jassin. Horison waktu itu dinilai sebagai satu-satunya barometer dunia sastra Indonesia. Bahkan  ada anggapan bahwa seorang sastrawan belum sah sebagai sastrawan jika belum berhasil menembus Horison (Puisi Mbeling Remy Sylado, 2004: xii).

Sangat mungkin, ada beberapa motif Remy yang melatarbelakangi puisi ”Di Blok Apa?” Pertama, main-main, sekadar bercanda, atau membuat parodi dengan maksud agar pembaca tertawa; kedua, menyindir H.B. Jassin yang selalu membahas karya-karya sastra yang diterbitkan Horison, di antaranya karya Chairil tersebut. Saking alerginya dengan majalah pimpinan H.B. Jassin itu, Remy tak pernah mengirimkan karya-karyanya ke majalah tersebut (Puisi Mbeling Remy Sylado, 2004: xvi). Untuk mewadahi karya-karya seniman yang tidak tertampung Horison, Remy kemudian memimpin penerbitan majalah Aktuil. Salah satu rubrik dalam majalah itu bernama puisi mbeling. Tokoh-tokoh yang turut mendukung gerakan puisi mbeling di antaranya adalah Jeihan, Seno Gumira Adjidarma, Abdul Hadi W.M., tiga bersaudara Massardi (Noorca, Yudhistira, dan Adi), Efik Mulyadi, Kurniawan Junaedi, dan Edy Herwanto; ketiga, menggugat ”kepausan” H.B. Jassin yang tidak pernah membicarakan karya-karya penyair yang menurutnya ”tidak memiliki stilistika yang baku”. Padahal, sekadar menyebut contoh, Remy jelas-jelas termasuk sastrawan yang banyak melahirkan karya-karya bermutu, di antaranya novel ”Ca Bau Kan” yang sudah ditransformasikan ke dalam layar perak dan novel ”Kerudung Merah Kirmizi” yang mendapat hadiah sastra Khatulistiwa. Sementara itu, Yudhistira mendapat anugerah karya fiksi terbaik melalui novelnya ”Arjuna Mencari Cinta” (1977) yang kemudian ditransformasikan oleh Ahmad Dhani lewat lagu dengan judul yang sama, kemudian dinyanyikan band yang didirikannya, Dewa 19. Akan halnya Abdul Hadi W.M., ia mendapat penghargaan SEA Write Award pada tahun 1985 atas antologi puisinya yang berjudul ”Anak Laut Anak Angin”. Ia juga mendapat anugerah seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Pokok persoalan ”binatang jalang” yang didenotasikan Remy adalah kesengajaan yang bertendensi, bukan ketidaktahuan atau keluguan yang sungguh-sungguh. Dengan demikian, motif parodi dan sentilan terhadap ”binatang jalang” adalah kecemburuannya terhadap dominasi para penyair, terutama yang dianakemaskan, juga sentilannya terhadap yang menganakemaskan itu, yakni H.B. Jassin. Adanya rujukan motif ini jelas terlihat bila membaca puisi mbeling lainnya, karya Mahawan, seperti yang dapat disimak berikut ini.
TEKA-TEKI
saya ada dalam puisi
saya ada dalam cerpen
saya ada dalam novel
saya ada dalam roman
saya ada dalam kritik
saya ada dalam esei
saya ada dalam w.c.

siapakah saya?
Jawab: h.b. jassin
Bagaimana? Jelas bukan? Ya, semangat pemberontakan puisi mbeling mendobrak konvensi-konvensi estetika yang dipatenkan H.B. Jassin menggelora pada penyair-penyair ”kelas pinggir” asuhan Remy ini. Bahkan, penyair Sapardi Djoko Damono mengapresiasi kepenyairan mereka seperti yang diungkapkannya berikut ini.
”Puisi rupanya telah menjadi bentuk sastra yang menarik minat orang-orang muda, terutama dalam masa perkembangannya sebagai sastrawan. Sajak-sajak yang dikirimkan ke majalah-majalah yang berprestasi tidak dapat segera dimuat… Sementara beberapa penyair mendapatkan tempat yang semakin kukuh dalam perkembangan puisi Indonesia, kaum muda yang baru menulis itu merasakan semacam tekanan. Mereka merasa tidak bisa cepat tampil karena terhalang oleh tokoh-tokoh yang sudah ’mapan’ (1983: 90).”   
Demikianlah, pada akhirnya semuanya diserahkan kepada masyarakat penikmat sastra untuk menilai sebuah karya. Setidaknya, dapat dicatat bahwa Takdir memiliki prinsip dalam bersastra, yakni sastra bukan sekadar untuk seni, melainkan juga untuk kebermanfaatan intelektual dan pencerdasan masyarakat. Ini dibuktikannya dalam novel ”Layar Terkembang”. Sementara itu, Chairil menyerukan semangat dengan vitalitas yang tinggi, membangkitkan kesadaran rakyat untuk berjuang merebut kemerdekaan. Silakan baca kembali puisinya yang berjudul ”Persetujuan dengan Bung Karno” dan ”Diponegoro”. Kesadaran akan rasa kebangsaan yang meledak-ledak itu memang akhirnya meledak pada 17 Agustus 1945. Akan halnya Remy, dalam main-mainnya, ia sesungguhnya serius mencemooh ketimpangan-ketimpangan yang terpampang. Tidak hanya dalam khazanah sastra, tetapi meluas ke berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini tercermin dalam puisi-puisinya, seperti ”Lebih Baik Mati Muda”, ”Madah yang Tertindas Namun Tak Binasa”, dan ”Kota Kita”.
Yang jelas, baik Chairil maupun Remy, sama-sama ”binatang jalang yang terbuang”. Chairil terbuang dari Pujangga Baru, sedangkan Remy terbuang dari Horison.
Sebagai penutup, jika Chairil masih hidup, mungkin ia akan berkata pada Remy, ”Remy, adikku…sesama binatang jalang kita mesti tahu, tak perlu sedu sedan itu!”
Sekian


DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Chairil. 1959. Deru Campur Debu. Jakarta: Pembangunan.
Damono, Sapardi Djoko. 1983. Kesusastraan Indonesia Moderen: Beberapa Catatan. Jakarta: PT Gramedia.
Esten, Mursal. 1990. Sastra Indonesia dan Tradisi Subkultur. Bandung: Angkasa.
Sylado, Remy. 2004. Puisi Mbeling Remy Sylado. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Worton, Michael dan Judith Still. 1990. Intertextuality and Practices. New York: Manchester 
                        University Press.


Catatan: Tulisan ini pertama kali dimuat di situs basabasi.co pada tanggal 24 Januari 2019 dengan tautan sebagai berikut.
https://basabasi.co/puisi-aku-karya-chairil-anwar-dan-puisi-di-blok-apa-karya-remy-sylado-hubungan-intertekstual-yang-mengejutkan/

Antologi Puisi

Ironing the United States (2)

Sumber gambar: https://www.kaskus.co.id/thread/594c4961529a45e3218b4567/wanita-patung-liberty-ternyata-muslimah/ Baren ...