CHAIRIL ANWAR
Sumber:
http://style.tribunnews.com/2017/03/21/film-chairil-anwar-mulai-digarap-tahun-2018-siapa-aktornya
REMY SYLADO
Sumber:
https://www.idntimes.com/hype/fun-fact/francisca-christy/9-penyair-ini-bikin-kamu-tergila-gila-dengan-puisi-mereka-1/full
PUISI ”AKU” KARYA CHAIRIL
ANWAR
DAN
PUISI ”DI BLOK APA?” KARYA REMY SYLADO:
HUBUNGAN
INTERTEKSTUAL YANG MENGEJUTKAN
oleh
Baren Barnabas
Sebuah puisi lahir dari rahim pemikiran, pengalaman,
keinginan, imajinasi, peristiwa, dan atau hasil penginderaan penyairnya. Dalam
hal menuangkan ide-idenya itu, si penyair, baik secara sadar ataupun tidak,
secara sengaja ataupun tidak, kadang-kadang dipengaruhi dan atau diilhami oleh
sebuah atau beberapa buah karya yang sudah ada. Entah itu sebagai reaksi
persetujuan, penolakan, pembelokan ide, pengambilan sebagian, atau pengungkapan
kembali dengan visi yang berbeda. Karya yang mengilhami atau melandasi sebuah
karya lain itu disebut hipogram, sedangkan hasil karya dari proses itu disebut
teks transformatif.
Dalam hal ”ilham-mengilhami”
tersebut, muncullah teori intertekstualitas. Sebenarnya, pendekatan intertekstual diilhami
oleh gagasan pemikiran Mikhail Bakhtin, seorang filsuf Rusia yang mempunyai
minat besar pada sastra. Menurut Bakhtin, pendekatan intertekstual menekankan
pengertian bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan sisipan atau
cangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra,
parodi, acuan atau kutipan. Pada perkembangan selanjutnya, pendekatan intertekstual
tersebut dipopulerkan oleh Julia Kristeva (Worton dan Still, 1990: 1). Kristeva berpendapat bahwa
setiap teks terjalin dari kutipan, peresapan dan transformasi teks-teks lain.
Sewaktu pengarang menulis, pengarang akan mengambil komponen-komponen teks yang
lain sebagai bahan dasar untuk penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi
warna dengan penyesuaian dan jika perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah
karya yang utuh. Jadi, teori ini merujuk pada
pemaknaan sebuah karya sastra (dalam esai ini mengkhususkan diri pada puisi)
dengan cara membandingkan dengan karya sastra lain yang menjadi hipogramnya
atau yang ”mengilhaminya”.
Dunia perpuisian Indonesia pun ternyata tak lepas dari
hubungan intertekstual ini. Salah satu contoh dari sekian banyak contoh
hubungan intertekstual itu adalah adanya keterkaitan yang mengejutkan antara
puisi ”Aku” karya Chairil Anwar, pelopor Angkatan ’45 dalam bidang puisi, dan puisi
”Di Blok Apa?” karya Remy Sylado, salah seorang pencetus puisi mbeling tahun 1972 (Puisi Mbeling Remy
Sylado, 2004: xii).
Gerangan apakah yang mengejutkan itu? Mari kita
simak selengkapnya kedua puisi yang dimaksud.
AKU
Kalau
sampai waktuku
’Ku
mau tak seorang ’kan merayu
Tidak
juga kau
Tak
perlu sedu sedan itu
Aku
ini binatang jalang
Dari
kumpulannya terbuang
Biar
peluru menembus kulitku
Aku
tetap meradang menerjang
Luka
dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga
hilang pedih peri
Dan
aku akan lebih tidak perduli
Aku
mau hidup seribu tahun lagi
(Deru
Campur Debu, 1959:7)
DI
BLOK APA?
Kalau
Chairil Anwar
binatang jalang
Di blok apa
tempatnya
di Ragunan?
(Puisi Mbeling Remy Sylado, 2004:14)
Anda tersenyum simpul di antara keterkejutan, bukan?
Jangan malu-malu, tersenyumlah karena senyum itu ibadah.
Memang, ada perbedaan sudut pandang di sini.
Setidaknya, Remy Sylado yang dewasa itu mengubah dirinya jadi seorang yang
lugu. Karena keluguannya itulah ia menjadi lugas dalam memaknai frase ”binatang
jalang” dari larik ”aku ini binatang jalang”. Agar “berbau” ilmiah, sebut saja
denotasi sebagai dasar pemaknaan Remy dan konotasi untuk Chairil. Konotasi yang
dibangun Chairil melalui majas metafora boleh jadi merupakan wujud semangat pemberontakannya
yang penuh vitalitas. Pemberontakan yang dimaksud kemungkinan ditujukan pada ”Pujangga
Baru”, sebuah majalah yang didirikan dan dipimpin Sutan Takdir Alisyahbana, yang
lebih dahulu eksis di kancah perpuisian Indonesia (para penyair yang
karya-karyanya dimuat dalam majalah itu kemudian dinamai Angkatan Pujangga
Baru). Bisa juga merupakan motif pantang menyerah dalam merebut kemerdekaan
dari tangan penjajah. Sementara itu, Remy juga sebetulnya melakukan hal yang
sama, yakni memberontak terhadap karya-karya puisi yang terbit di majalah
Horison, sebuah majalah yang dikelola H.B. Jassin, satu-satunya majalah sastra
yang merupakan barometer mutu sastra Indonesia waktu itu.
Chairil (dalam Esten, 1990: 13) pernah berkata,
”Sesudah mana mendurhaka pada Kata kita lupa bahwa Kata adalah yang menjalar
mengurat, hidup dari masa ke masa, terisi padu dengan penghargaan, Mimpi,
Penghargaan, Cinta dan Dendam Manusia. Kata ialah Kebenaran!!!” Dengan
demikian, lanjut Esten, Chairil menempatkan kata pada kedudukan tersendiri.
Kedudukan justru pada maknanya, bukan pada wujud lahirnya. Ia menempatkan kata
pada kedudukan yang amat penting, melalui makna yang terkandung di dalamnya.
Pemberontakan Chairil terhadap
Pujangga Baru merupakan pemberontakan estetika, pemberontakan terhadap
konvensi-konvensi susastra (lama) yang melilit perpuisian Indonesia saat itu,
yakni membebaskan puisi dari keteraturan rumus-rumus rima, jumlah larik tiap
bait, serta bunga-bunga bahasa yang melankolis. Bagi Chairil, yang terpenting
adalah makna. Sebagai salah satu bukti dari pemberontakan itu adalah judul yang
ia pilih untuk sebuah buku antologi puisi yang diterbitkan bersama kedua kawan
seangkatannya, Asrul Sani dan Rivai Apin, yaitu ”Tiga Menguak Takdir” (Balai
Pustaka, 1950). Kata ketiga dari judul itu sengaja dibuat ambigu: takdir
sebagai ”yang sudah lebih dahulu ditentukan oleh Allah; keputusan Tuhan”, yakni
sebagai pencerminan jiwa mereka bertiga dalam hal mencoba
menguak, memahami, dan menghayati misteri kehidupan manusia; atau upaya
mereka bertiga untuk menghadapi eksistensi Takdir, tokoh Angkatan Pujangga
Baru, yakni Sutan Takdir Alisjahbana.
Di sisi lain, pemberontakan Chairil terhadap
penjajah dengan menyimbolkan dirinya (baca: rakyat Indonesia) sebagai binatang
jalang. Sifat-sifat binatang jalang itu antara lain susah ditaklukkan (’Ku mau
tak seorang ’kan merayu), tak kenal rasa sedih/tangisan (Tak perlu sedu sedan
itu), tak kenal rasa takut (Biar peluru menembus kulitku), bersifat menyerang
untuk merebut yang diinginkannya---kemerdekaan--- (Aku tetap meradang
menerjang), tak kenal rasa sakit (Luka dan bisa kubawa berlari), tak kenal
aturan---yang dibuat penjajah---(Dan aku akan lebih tidak perduli), dan
memiliki semangat hidup yang tinggi (Aku mau hidup seribu tahun lagi).
Akan halnya Remy, ia mewakili ”penyair-penyair kelas
pinggir” yang karya-karyanya susah menembus majalah Horison pimpinan H.B.
Jassin. Horison waktu itu dinilai sebagai satu-satunya barometer dunia sastra Indonesia.
Bahkan ada anggapan bahwa seorang
sastrawan belum sah sebagai sastrawan jika belum berhasil menembus Horison
(Puisi Mbeling Remy Sylado, 2004: xii).
Sangat mungkin, ada beberapa motif Remy yang
melatarbelakangi puisi ”Di Blok Apa?” Pertama, main-main, sekadar bercanda,
atau membuat parodi dengan maksud agar pembaca tertawa; kedua, menyindir H.B.
Jassin yang selalu membahas karya-karya sastra yang diterbitkan Horison, di
antaranya karya Chairil tersebut. Saking alerginya dengan majalah pimpinan H.B.
Jassin itu, Remy tak pernah mengirimkan karya-karyanya ke majalah tersebut
(Puisi Mbeling Remy Sylado, 2004: xvi).
Untuk mewadahi karya-karya seniman yang tidak tertampung Horison, Remy kemudian
memimpin penerbitan majalah Aktuil. Salah satu rubrik dalam majalah itu bernama
puisi mbeling. Tokoh-tokoh yang turut mendukung gerakan puisi mbeling di
antaranya adalah Jeihan, Seno Gumira Adjidarma, Abdul Hadi W.M., tiga
bersaudara Massardi (Noorca, Yudhistira, dan Adi), Efik Mulyadi, Kurniawan
Junaedi, dan Edy Herwanto; ketiga, menggugat ”kepausan” H.B. Jassin yang tidak
pernah membicarakan karya-karya penyair yang menurutnya ”tidak memiliki
stilistika yang baku”. Padahal, sekadar menyebut contoh, Remy jelas-jelas
termasuk sastrawan yang banyak melahirkan karya-karya bermutu, di antaranya
novel ”Ca Bau Kan” yang sudah ditransformasikan ke dalam layar perak dan novel
”Kerudung Merah Kirmizi” yang mendapat hadiah sastra Khatulistiwa. Sementara
itu, Yudhistira mendapat anugerah karya fiksi terbaik melalui novelnya ”Arjuna
Mencari Cinta” (1977) yang kemudian ditransformasikan oleh Ahmad Dhani lewat
lagu dengan judul yang sama, kemudian dinyanyikan band yang didirikannya, Dewa
19. Akan halnya Abdul Hadi W.M., ia mendapat penghargaan SEA Write Award pada tahun 1985 atas antologi puisinya yang
berjudul ”Anak Laut Anak Angin”. Ia juga mendapat anugerah seni dari Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Pokok persoalan ”binatang jalang” yang didenotasikan
Remy adalah kesengajaan yang bertendensi, bukan ketidaktahuan atau keluguan
yang sungguh-sungguh. Dengan demikian, motif parodi dan sentilan terhadap
”binatang jalang” adalah kecemburuannya terhadap dominasi para penyair,
terutama yang dianakemaskan, juga sentilannya terhadap yang menganakemaskan
itu, yakni H.B. Jassin. Adanya rujukan motif ini jelas terlihat bila membaca
puisi mbeling lainnya, karya Mahawan, seperti yang dapat disimak berikut ini.
TEKA-TEKI
saya ada dalam puisi
saya ada dalam cerpen
saya ada dalam novel
saya ada dalam roman
saya ada dalam kritik
saya ada dalam esei
saya ada dalam w.c.
siapakah saya?
Jawab: h.b. jassin
Bagaimana? Jelas bukan? Ya, semangat pemberontakan
puisi mbeling mendobrak konvensi-konvensi estetika yang dipatenkan H.B. Jassin
menggelora pada penyair-penyair ”kelas pinggir” asuhan Remy ini. Bahkan,
penyair Sapardi Djoko Damono mengapresiasi kepenyairan mereka seperti yang
diungkapkannya berikut ini.
”Puisi
rupanya telah menjadi bentuk sastra yang menarik minat orang-orang muda,
terutama dalam masa perkembangannya sebagai sastrawan. Sajak-sajak yang
dikirimkan ke majalah-majalah yang berprestasi tidak dapat segera dimuat…
Sementara beberapa penyair mendapatkan tempat yang semakin kukuh dalam
perkembangan puisi Indonesia, kaum muda yang baru menulis itu merasakan semacam
tekanan. Mereka merasa tidak bisa cepat tampil karena terhalang oleh
tokoh-tokoh yang sudah ’mapan’ (1983: 90).”
Demikianlah, pada akhirnya semuanya diserahkan
kepada masyarakat penikmat sastra untuk menilai sebuah karya. Setidaknya, dapat
dicatat bahwa Takdir memiliki prinsip dalam bersastra, yakni sastra bukan
sekadar untuk seni, melainkan juga untuk kebermanfaatan intelektual dan
pencerdasan masyarakat. Ini dibuktikannya dalam novel ”Layar Terkembang”.
Sementara itu, Chairil menyerukan semangat dengan vitalitas yang tinggi,
membangkitkan kesadaran rakyat untuk berjuang merebut kemerdekaan. Silakan baca
kembali puisinya yang berjudul ”Persetujuan dengan Bung Karno” dan
”Diponegoro”. Kesadaran akan rasa kebangsaan yang meledak-ledak itu memang akhirnya
meledak pada 17 Agustus 1945. Akan halnya Remy, dalam main-mainnya, ia
sesungguhnya serius mencemooh ketimpangan-ketimpangan yang terpampang. Tidak
hanya dalam khazanah sastra, tetapi meluas ke berbagai sendi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Hal ini tercermin dalam puisi-puisinya, seperti ”Lebih
Baik Mati Muda”, ”Madah yang Tertindas Namun Tak Binasa”, dan ”Kota Kita”.
Yang jelas, baik Chairil maupun Remy, sama-sama
”binatang jalang yang terbuang”. Chairil terbuang dari Pujangga Baru, sedangkan
Remy terbuang dari Horison.
Sebagai penutup, jika Chairil masih hidup, mungkin
ia akan berkata pada Remy, ”Remy, adikku…sesama binatang jalang kita mesti
tahu, tak perlu sedu sedan itu!”
Sekian
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar, Chairil. 1959. Deru Campur Debu. Jakarta: Pembangunan.
Damono, Sapardi Djoko. 1983. Kesusastraan Indonesia Moderen: Beberapa Catatan. Jakarta: PT
Gramedia.
Esten, Mursal. 1990. Sastra Indonesia dan Tradisi Subkultur. Bandung: Angkasa.
Sylado, Remy. 2004. Puisi Mbeling Remy Sylado. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Worton, Michael dan Judith Still. 1990. Intertextuality and Practices. New York:
Manchester
University Press.
Catatan: Tulisan ini pertama kali dimuat di situs basabasi.co pada tanggal 24 Januari 2019 dengan tautan sebagai berikut.
https://basabasi.co/puisi-aku-karya-chairil-anwar-dan-puisi-di-blok-apa-karya-remy-sylado-hubungan-intertekstual-yang-mengejutkan/